Rabu, 24 November 2010

TAFSIR SUFI


I.     PENDAHULUAN
              Perkembangan sufisme yang kian marak di dunia Islam ditandai oleh praktik-praktik asketisme dan askapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam. Hal ini dimulai sejak munculnya konflik politis sepeninggal nabi Muhammad SAW. Praktik seperti terus berkembang pada masa berikutnya.
              Seiring berkembangnya aliran sufi. Merekapun menafsirkan alqur’an sesuai dengan faham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat alqur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat  saja. Namun mereka memahaminya secara bathin atau yang tersirat.

II. PEMBAHASAN
A.     Pengertian Tafsir Shufi
     Tafsir sufi  adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi.[1] Sesuai dengan pembagian dalam dunia tasawwuf tafsir ini juga dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawwuf an Nazhari disebut Tafsir al Shufi al Nazhri, dan yang sejalan dengan tashawwuf amali disebut tafsir al faidhi atau tafsur al isyari.
B. Sejarah lahirnya Tafsir Shufi
        Para sufi umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
لِكُلِّ ايَةٍ ظَهْرٌ وَبَطْنٌ وَلِكُلِّ حَرْفٍ حَدٌّ وَلِكُلِّ حَدٍّ مَطْلَعٌ
       “Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”
              Hadits di atas, adalah merupakan dalil yang digunakan para sufi untukmenjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka di balik makna zahir, dalam redaksi teks Al-Qur’an tersimpan makna batin. Mereka menganggap penting makna batin ini. Nashiruddin Khasru misalnya, mengibaratkan makna zahir seperti badan, sedang makna batin seperti ruh; badan tanpa ruh adalah substansi yang mati.[2] Tidak heran bila para sufi berupaya mengungkap makna-makna batin dalam teks Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah unsur asing (Gharib), melainkan sesuatu yang inheren dengan Al-Qur’an.
                     Tafsir sufi menjadi eksentrik karena hanya bisa ditolak atau
     diterima, tanpa bisa dipertanyakan. Tafsir tersebut tidak bisa menjawab
dua pertanyaan; mengapa dan bagaimana? Misalnya, ketika al-Ghazali
 menafsirkan potongan ayat (QS:20;12)  ( فَاخْلَعْ نَعْلَيْلَكَ ) yang secara zahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tai carilah wajah Allah semata”.[3]  Kita boleh setuju atau tidak dengan penafsiran seperti ini. Tapi kita tidak akan memperoleh penjelasan yang memadai tentang mengapa penafsirannya seperti ini? Dan bagaimana al-Ghazali bisa sampai pada penafsiran yang seperti ini? Kita hanya bisa menerima atau menolaknya, tanpa bisa mempertanyakan penalaran di balik penafsiran tersebut.
                     Tidak ada penalaran yang jelas yang menghubungkan antara
nash Al-Qur’an dengan tafsir batin yang dikemukakan oleh para sufi
kecuali para sufi iut melihat nash Al-Qur’an sebagai isyarat bagi makna batin tertentu. Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut dengan tafsir isyari[4], yang pengertiannya menurut versi Al-Zarqani adalah “menafsirkan Al-Qur’an tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin, karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.
                     Jadi, isyarat-isyarat Al-Qur’anlah yang direnungkan oleh para
   sufi, sehingga mereka sampai pada makna batin Al-Qur’an. Dan
   disinilah letak masalahnya, karena isyarat sangat rentan untuk disalah-
   tafsirkan atau disalahgunakan. Misalnya, penyalahgunaan yang
dilakukan oleh kaum Bathiniyah.[5] Dengan dalih bahwa di balik makna
 zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir batin yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri. Misalnya saja ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99 (QS.15:99) ( وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَى يَاْتِيَكَ الْيَقِيْنُ ) . Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah Tuhanmu sampai ajal tiba”. Namun kaum Bathiniyah mengembangkan penafsiran sendiri. Menurut mereka makna ayat itu adalah “barangsiapa telah mengerti makna ibadah, maka gugurlah kewajiban bagnya”.[6]
              Jelas bias kesektariannya sangatlah kental dalam tafsir kaum bathiniyah. Dan para sufi mencela penafsiran seperti itu. Walaupun mereka juga menggali tafsir batin Al-Qur’an, namun para sufi merasa          bahwa tafsir mereka tidaklah sama dengan tafsir kaum Bathiniyah; Pertama karena penafsiran mereka diperoleh mengalau kasyaf.[7] Kedua, karena mereka tidak mengabaikan makna zahir Al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan kaum Bathiniyah. Namun demikian, apakah betul karena itu, yakni karena berbeda dengan kaum Bathiniyah, sehingga tafsir sufi steril dari bias sectarian? Masalah ini perlu dielaborasi lebih lanjut.

C. Sekilas tentang Sufisme
                           Untuk dapat mengetahui serta mengelaborasi corak serta bias sectarian dalam tafsir sufi. Perlu kiranya dipaparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang sufisme. Karena, tafsir sufi pada dasarnya adalah tafsir yang dikemukakan oleh para sufi, dan para sufi menjadi sufi karena sufisme.
                     Sufisme atau tasawuf[8] adalah ilmu pengetahuan yang
      mempelajari cara dan jalan tentang bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhannya. Intisari dari Sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Allah SWT dengan mengasingkan diri dan berkontempelasi. Sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan dengan Tuhan, sehingga seseorang sadar betul baha ia berada di hadirat Tuhan.
                     Ada banyak variasi cara dan jalan yang diperkenalkan para
     ahli sufisme untuk memperoleh tujuan tersebut. Mereka menyebutnya dengan istilah maqamat, yaitu stasiun-stasiun yang harus dijalani para sufi untuk sampai ke tujuan mereka. Dari sekian banyak versi maqamat, yang biasa disebut ialah: tobat-zuhud-sabar-tawakkal-ridha. Kelima stasiun itu harus ditempuh secara bertahap. Untuk berpindah dari satu stasiun ke stasiun berikutnya diperlukan waktu dan usaha yang tidak sedikit. Terkadang seorang sufi harus menyelami satu stasiun selama bertahan-tahun sebelum akhirnya ia merasa mantap dan dapat berpindah ke stasiun berikutnya.
                           Mengenai bentuk hubungan dengan Allah SWT, yang menjadi tujuan para sufi, ada dua buah pendapat utama; monoisme dan dualisme. Para penganut aliran monoisme berpendapat baha tahap puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat manunggal/ monolitik, hubungan ini dapat mengambil bentuk hulul, ittihad atau wihdat al-wujud.[9] Para penganut aliran dualisme berpendapat bahwa hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat dulistik. Seorang sufi bisa jadi akan sangat dekat dengan Tuhan, sehingga tidak ada lagi dinding pemisah antara dia dengan Tuhan, namun dia tetaplah dia dan Tuhan tetaplah Tuhan. Bagi aliran dualisme, puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhannya adalah al-Qurb (kedekatan).
                     Untuk menguraikan jalan dan tujuan sufisme ini, para ahli tasawwuf menempuh dua jalan yang berbeda. Ada yang menggunakan Al-Qur’an dan al-Hadits, dan ada pula yang menggunakan filsafat. Penganut aliran dualisme umumnya menggunakan yang pertama, karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf sunni. Sedangkan penganut aliran monoisme umumnya menggunakan yang kedua, karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf filosofi.[10]
                           Mahmud Basuni Faudah, menyebut kedua macam aliran tasawwuf tersebut dengan isitilah tasawwuf teoritis dan tasawwuf praktis. Tasawwuf teoritis adalah tasawwuf yang didasarkan pada pengamatan, pembahasan dan pengkajian, dan karena itu mereka menggunakan filsafat sebagai saranya. Sedangkan tasawwuf praktis adalah tasawwuf yang didasarkan pada kezuhudan dan asktisme, yakni banyak berzikir dan latihan-latihan keruhanian. Menurut Faudah, para penganut kedua aliran ini mendekati Al-Qur’an dengan cara yang berbeda. Karena itu, produk penafsirannya pun relative berbeda. Ia membedakan keduanya dengan istilah tafsir sufi nazhari dan tafsir dan tafsir sufi isyari. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi teoritis seperti Ibn ‘Arabi. Sedangkan tafsir sufi Isyari adalah produk sufi praktis seperti Imam al-Naysaburi, al-Tustari, dan Abu Abdurrahman al-Sulami.[11]
                     Sangatlah menarik untuk membandingkan lebih jauh tentang sufi Nazhari dengan tafsir sufi Isyari ini. Hal ini, mengingat masing-masing memiliki karakter tersendiri. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi nota bene membangun ajaran sufisme di atas landasan filsafat. Karena itu, sangatlah mungkin ada bias filsafat di dalam tafsir aliran tersebut. Sedangkan tafsir sufi isyari adalah produk para sufi menganut teologi Asy’ariyah,[12] sehingga besar kemungkinan ada bias Asy’ariyah di dalam tafsir tersebut. Dan sebagaimana yang akan ditunjukkan oleh makalah ini, asumsi-asumsi tersebut terbukti benar.

       D     Bias Filsafat dalam Tafsir sufi Nazhari
                           Upaya untuk menemukan bias filsafat dalam tafsir sufi Nazhari, telah dilakukan oleh Mahmud Basuni Faudah. Ia berhasil menunjukkan beberapa penafsiran Ibn ‘arabi yang menjadi bukti bahwa tafsir batin yang dikemukakannya mengandung bias filsafat. Ibn ‘arabi sendiri adalah seorang sufi yang sangat terpengaruh oleh pandangan wihdah al-wujud dan filsafat emanasi.
                           Bias filsafat terlihat ketika Ibn ‘Arabi menafsirkan surat Maryam ayat 57 (QS.19:57) ( وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًا ) yang secara zahir berarti: “Dan Kami angkat martabatnya (Idris a.s.) ke tempat yang tinggi”. Menurut Ibnu ‘Arabi, tempat yang tinggi adalah tempat beredarnya ruh, alam, dan falak-falak (benda-benda langit) yaitu falak matahari. Disitulah kedudukan ruhani nabi Idris a.s. Di baahnya terdapat tujuh falak dan di atasnya juga tujuh falak. Tujuh falak yang ada di atas falak Idris as. Adalah tempatnya umat Muhammad saw. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh filsafat emanasi yang mengajarkan bahwa alam ini terjadi dari pancaran akal pertama yang kemudian membentuk falak-falak yang bertingkat-tingkat.[13]
                           Bias faham wihdah al-wujud terlihat ketika Ibn ‘arabi menafsirkan surat al-Nisa ayat 1 (QS.4:1) (يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ  مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ) . Secara sahir, ayat tersebut berarti “Wahai sekalian manusia bertaqwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (jenis)”. Ibn ‘Arabi menafsirkan ayat ini dengan penafsiran sebagai berikut: “Bertaqwalah kepada Tuhanmu. Jadikanlah bagian yang zhahir dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai penjaga bagi dirimu. Karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Maka jadilah kalian pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling beradan di seluruh alam”. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh faham wihdah al-wujud yang memandang alam ini sebagai pengejawantahan (ego apresiasi) dari ego potensial yang merupakan Dzat Tuhan yang hakiki.

       E. Bias Asy’ariyah dalam Tafsir sufi Isyari
                           Di samping pengaruh-pengaruh di atas, dalam kitab-kitab tafsir sufi Isyari, bias sectarian juga nampak terlihat. Tafsir-tafsir tersebut umumnya membela teologi Asy’ariyah. Muhammad Husayn al-Zahabi misalnya, menyebutkan secara gamblang dalam bukunya, al-Tafsir wa al-Mufasirun, bahwa al-Naysaburi ketika menafsirkan Al-Qur’an, banyak menceburkan diri dalam perdebatan teologi sebagai pembela Asy’ariyah. Al-Zahabi mencontohkan penafsiran al-Naysaburi atas surat al-An’am ayat 25 (QS. 6:25) yaitu :
              ( وَجَعَلْنَا عَلىَ قُلُوبِهِمْ اَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوْهُ  ). Ayat tersebut artinya: “Dan Kami jadikan atas hati mereka penutup untuk memahaminya”. Menurut al-Nasaburi, ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memalingkan iman dan menengahi antara seorang hamba dengan hatinya. Kaum Mu’tazlah berupaya memalingkan ayat ini dari makaha zaharnya, karena tidak sesuai dengan akidah mereka. Lalu al-Naysaburi memaparkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah. Setelah itu, ia mematahkan satu persatu, sambil membela kaum Asy’ariyah.[14]
                           Contoh lain, dapat dikemukakan dalam tafsir Ruh al-Ma’ani, karya al-alusi. Al-alusi menolak pendapat Mu’tazilah dan mempertahankan Asy’ariyah, ketika ia menafsirkan surat al Kahfi ayat 29 QS. 18:29) : ( فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ) yang berarti “Barangsiapa yang ingin beriman, beirmanlah dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah!”. Menurut al-Alusi, ayat ini tidak menunjukkan adanya free will dan free act sebagaimana yang diklaim oleh kaum Mu’tazilah. Hal ini, karena free will dan free act bertentangan dengan dua hal; Pertama, bila untuk berbuat manusia perlu berkehendak, maka untuk membuat kehendak manusia juga perlu berkehendak, begitu seterusnya, sehingga akan terjadi proses teologis yang tidak ada ujung pangkalnya. Kedua, Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Insan ayat 30 (QS. 76:30)
      (وَمَاتَشَاؤُونَ إِلاَّ أنْ يَشَاءَ اللهُ  ). Ayat ini jelas menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Demikianlah menurut al-Alusi.[15]

F.   Kitab-kitab Tafsir Shufi
      1.Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tutsuri (w.283 H)
      2.Haqa’iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H)
       3.Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi (w.606 H).

III.   KESIMPULAN
1.      Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih mementingkan bathinnya lafal daripada lahirnya.
2.      Dalam tafsir shufi terdapat dua corak tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari.
3.      Tafsir sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan tafsir sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis.
4.       Tafsir sufi seharusnya steril dari dimensi sektarianisme, karena ia diklaim bersumber dari Tuhan yang adalah sumber dari segala kebenaran.








DAFTAR PUSTAKA

Al-alusi, Abu al-Fadl Mahmud, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al’Azim wa
Sab’I al-Masani, (Beirut: Dar Ihya Turas al-‘Arabi, t.th)

Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al-quran Perkenalan dengan Metode Tafsir, (Bandung Penerbit Pustaka, 1987)

Al-Ghazali, Abi Hamid Muhamamd bin Muhammad, Ihya ‘Ulul Al-Din, (Beirut;
Dar Ihya Turas Al-‘Arabi)

Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufasirun ayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu’assasah Tiba’iyah Nasyr Wizarah Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1415 H).

Nasution Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1999)

Solihn, M. Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf,
(Bandung: pustaka Setia, 2003)

Al-Suyuti, Jalaludin, Al-Itqan fil ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951)

Al-Surbasi, ahmad, Qissah Al-Tafsir, (Beirut: Dar Al-Jayl, 1988)

Al-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanami, sufi dari Zaman ke Zaman
, (Bandung; Penerbit Pustaka, 1997)

Thabathaba’I, Alammah M.H., Islam Syiah Asal Usul dan Perkembangan,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993)

Al-Zarqani, Muhammad Abd Al-Azim, Manabil Al-Irfan fi Al-‘Ulum Al-Qur’an,
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1986)

Al-Dzahabi, Muhammad Huseyn, al-Tafsir wa Mufassirun, (Kairo:
Mu’assasah at-Tariqh al-‘arabiyah, 1396H/ 1976 M) juz II cet. II h.104

TAFSIR SUFI

MATA KULIAH
MADZAHHIBUT TAFSIR WA MANAHIJUHU





















Oleh:
Mihdah Wati
Muhammad Hasbi




Dosen Pembimbing:
DR. K.H. AHSIN SAKHO MUHAMMAD, MA



PROGRAM PASCA SARJANA
INSITTUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
2008


 


[1] Prof. Dr. Moh Quraish Shihab. At all. 2001, Sejarah & Ulum al qur’an, Pustaka Firdaus: Jakarta ,halaman 180
[2] Ahmad al-Syurbasi, Qishashah al-Tafsir (Beirut: Dar-al0Jayl, 1988), h. 89
[3] Ibid h.96
[4] Ada yang menyamakan kedua istilah tersebut dan ada pula yang membedakannya. Al-Zarqani berpendapat bahwa kedua istilah itu sama, yaitu menunjuk pada tafsir yang dikemukakan oleh kaum sufi. Sementara ‘Ali Iyazi membedakan keduanya berdeasarkan tingkat apresiasinya terhadap makna zahir Al-Qur’an. Tafsir yang hanya mementingkan makna-makna batin Al-Qur’an dan mengabaikan makna zahirnya adalah tafsir sufi. Sedangkan tafsir yang menggali makna-makna batin Al-Qur’an tanpa mengabaikan makna zahirnya adalah tafsir isyari. Namun pendapat ini tidak popular. Lihat: Muhammad Abd l-Azim al-Zarqani, Manabil al-Irfan fi al-‘Ulul al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), V.2 h.79 Muhammad ‘ali Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu’assash al-Tiba’iyah wa Nasyr Wizarah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1415 H). h.57-61.
[5]  Bathiniyah adalah salah satu sekte (aliran) Syi’ah ‘Ismailiyyah; yaitu mereka yang mengklaim bahwa setelah Ja’far al-Shadiq Imamah jatuh ke tangan anak sulungnya yang bernama Ismail. Ciri utama ajaran Bathiniyah ini adalah menafsirkan aspek lahir ajaran Islam secara batin dan menganggap bahwa segi-segi lahir syar’iy hanya untuk orang-orang awam yang tidak sempurna rohaniya. Sedangkan bagi mereka yang cerdas dan sempurna rohaninya, ritual ibadahnya tidak lagi penting. Lihat: Allamah M.H. Thabaththaba’I, Islam Syi’ah asal Usul dan Perkembangannya, (Jakarta, Pustaka Utama Graffiti, 1993), h.82-86.
[6] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’an Perkenalan dengan Metode Tafsir, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987). H.222
[7] Kassyaf secara etimologi berarti terbukanya tirai. Kasysyaf adalah tersingkapnya tabir pemahaman seseorang, seakan-akan dia melihat dengan mata kepala sendiri, walaupun pada hakikatnya ia melihat dengan mata batin. Kasysyaf adalah terbukanya rahasia-rahasia pengetahuan yang hakiki. Kasysyaf adalah suatu keadaan yang bersifat individual, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah. Kasysyaf baru diperoleh setelah seseorang betul-betul bertaqwa dan selalu mawas diri. Al-ghazali sering menyebutkan bahwa kasysyaf adalah epistemology pengetahuan yang tertinggi karena kasysyaf berarti terbukanya cahaya-cahaya atau informasi-informasi gaib ke dalam jiwa manusia. Lihat: M. Solihin, Tasawuf Tematik Membedalh Tema-tema Penting Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2003) h.59-61
[8]  Ada beberapa teori yang berkembang seputar asal-usul kata sufi, sufisme dan tasawwuf. Menurut teori-teori tersebut kata sufi, sufisme dan tasawwuf berasal dari: (1) ahl al-Suffal, yaitu para sahabat yang menjadi miskin karena hijrah dan tidur di Masjid Nabawi dengan berbantalkan al-Suffah (pelana), (2) shaf, yaitu barisan pertama dalam shalat berjamaah, (3) Shafa, yang berarti suci, (4) Sophos, kata Yunani yang berarti hikmat, dan (5) Shuf, kain wil kasar yang biasa dipakai para sufi. Diantara kelima teori di atas, teori terakhirlah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Lihat: Harun Nasution, Filsafat dan Mitissme dalam Islam, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1999), h.54-55.
[9] Ittihad adalah suatu model hubungan di mana sorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata: “Hai aku”. Sedangkan hulul secara etimologi berarti menempati. Artinya Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yang telah lenyap sifat kemanusiaannya. Adapaun wihdah al-wujud berarti kesatuan wujud. Ini berarti seluruh yang ada walaupun kelihatannya banyak namun hakikatnya adalah satu yaitu bayangan Tuhan. Seandainya Tuhan yang menjadi sumber bayang-bayang tidak ada, maka yang lain pun tidak ada. Jadi yang sebenarnya memiliki wujud adalah Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanyalah satu wujud, yaitu wujud Tuhan, sedangkan yang lain hanya merupakan bayang-bayang.
[10] Klasifikasi ini digagas antara lain oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi. Menurutnya, tasawwuf sunni adalah tasawwuf yang para pengikutnya memagari tasawwuf mereka dengan Al-Qur’an dan al-sunnah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya. Sedangkan tasawwuf filosofi adalah tasawwuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawwuf sunni, ajaran tasawwuf filosofis menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi tokoh-tokohnya. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), h.140 dan 187.
[11] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’an Perkenalan dengan Metode Tafsir.
[12] Berdasarkan survey yang dilakukan penulis atas biografi para mufassir Sufi dalam buku al-Mufassrun Hayatuhum wa Manhajum karya ‘ali Iyazi, menunjukkan bahwa seluruh mufassir sufi menganut teologi Asy’ariyah. Belum ditemukan alasan yang memadai untuk menjelaskan fenomena ini. Tesis sementara yang mungkin dapat diajukan adalah adanya kecocokan antara ajaran-ajaran tasawwuf dengan teologi Asy’ariyah yang cenderung fatalistic, sementara teologi lain seperti Mu’tazilah tidak memberikan landasan teologi yang kompatibel dengan ajaran-ajaran tasawwuf karena cenderung menghargai free will.
[13] Tafsir-Tafsir Al-Qur’an Perjalanan dengan Metode Tafsir
[14] Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M.) Juz II, cet. II, h. 104
[15] Abu al Fadl Mahmud al-alusi, Ruh al-Ma’am fi Tafsir al-Qur’an ‘Azim wa Sab’I al-Matsani, (Beirut, Dar Ihya al-Turats al’arabi, t.th) v.15 h.266

Tidak ada komentar:

Posting Komentar