Rabu, 24 November 2010

BAHAYA MENAFSIRKAN SENDIRI AL QUR’AN



Memang sudah disabdakan Nabi Muhammad SAW akan banyaknya di akhir zaman orang yang menafsirkan Al Qur’an dengan sembarangan, sesuai pendapat sendiri saja. Tanpa memiliki kemampuan di bidangnya, tanpa mengetahui kaitannya dengan hadits-hadits Nabi, kaitan ayat dengan ayat. Terkadang ditafsirkan disesuaikan dengan ajaran kelompok mereka, didoktrin dari pendahulu-pendahulu mereka tanpa memandang pendapat para ahli sebelumnya. Seolah pendapat merekalah yang paling benar.

Nabi SAW bersabda :

مَنْ فَسَّرَ اْلقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ


“Siapa saja yang menafsirkan Al Qur'an dengan menggunakan pendapatnya sendiri maka hendaknya dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka" (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan Ibnu Abi Syaibah).

Tetapi sayangnya, banyak yang tertipu dengan para penafsir gadungan ini. Mereka menyatakan pengajian mereka adalah benar karena masih menggunakan Al Qur’an dan Hadits. Padahal sudah banyak terbukti banyaknya ajaran-ajaran baru di akhir zaman ini yang menggunakan Al Qur’an dan Hadits sesuai nafsunya saja, sesuai pendapatnya saja. Bukankah para teroris juga menggunakan dalil Al Qur’an? Bukankah aliran Ahmadiyah juga menggunakan dalil Al Qur’an? Bukankah aliran Syi’ah juga menggunakan dalil Al Qur’an?

Berikut ini contoh bahaya yang ditimbulkan jika menafsirkan Al Qur’an sendiri :

1.      Salah Mengharamkan Bangkai Ikan dan Belalang dan mengharamkan Hati dan Limpa, menghalalkan lemak babi

Di Al Qur’an disebutkan bahwa diharamkan atas kalian bangkai dan darah dan daging babi. Kalau tidak menggunakan hadits Nabi yang berhubungan dengan ayat ini maka ayat ini ditafsirkan semua bangkai Ikan dan Belalang adalah haram, hati dan limpa juga haram, daging babi haram tapi lemak, kulitnya halal.

Penyebab: Tidak mengerti ilmu Ushul Fiqh terutama masalah ‘Amm, Khoshsh, Takhshish Kitab Bissunnah, Takhshish Kitab Bilkitab, Takhshish Sunnah Bilkitab. Dan tidak mengerti hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat ini

2.      Salah mengartikan istilah Solat

Pernah teman saya diajak calon istrinya mengaji di suatu tempat, ketika pengajian itu berlangsung dan waktu solat sudah masuk mereka tidak melakukan solat yang akhirnya ditegur teman saya itu. Mereka menjawab Solat itu khan Mencegah perbuatan keji dan mungkar, nah diskusi/pengajian seperti inilah yang disebut solat.

Penyebab : Tidak mengerti kaidah bahasa arab bahwa kalau mengartikan suatu kata harus sesuai, isim dengan isim, kalau ayat tadi artinya adalah Solat itu berfungsi mencegah perbuatan keji dan mungkar, bukan mengartikan isitilah Solat.

3.      Salah menafsirkan ayat sesuai aliran ajarannya

Mu’tazilah dan Qodariyah mengartikan ayat yang berbunyi pada surat Ar Ro’d: Sesungguhnya ALLAH tidaklah merubah (nasib) suatu kaum sehingga kaum itu yang merubah (nasibnya) sendiri. Jadi menurut mereka nasib itu manusia yang menentukan bukan ALLAH.

Penyebab : Tidak menggunakan tafsir ayat dengan ayat. Ayat di atas tidak menyebut kata “NASIB” pada teks ayatnya, hanya menyebutkan MAA BIQOUMIN (sesuatu pada suatu kaum). Ayat ini harus ditafsirkan dengan ayat lain yang berbunyi bahwa ALLAH tidaklah merubah NI’MAT yang ALLAH berikan pada suatu kaum sehingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka (Surat Al Anfal)

4.      Salah membolehkan memukul orang tua

Di Al Qur’an hanya disebutkan jangan berkata “AAH” kepada orang tua, tidak disebutkan larangan memukul. Bisa saja ada yang menafsirkan boleh memukul orang tua karena tidak ada dalil yang melarangnya.

Penyebab : Tidak menggunakan Ushul Fiqh Qiyas Aulawi (mempersamakan hukum dengan alasan yang lebih tinggi, AAHH diqiyaskan dengan memukul karena memukul lebih menyakitkan) dan tidak menggunakan Ilmu Balagoh Majaz Mursal Juz’iyyah (Bukan arti sebenarnya, tapi menyebut sebagian bermaksud seluruhnya, jadi menyebut AAHH itu bagian kecil dari menyakitkan orang tua)

5.      Salah menghubungkan kata dengan kata dalam 1 atau 2 ayat

Di Al Qur’an disebutkan Dan USAPLAH sebagian kepala kalian dan kaki kalian. Jadi diambil pengertian ketika kaki maka kakinya diUSAP bukan DIBASUH. Ini salah

Penyebab : Tidak melihat hadits yang berhubungan dengan ayat ini. Di hadits disebutkan kalau kaki harus DIBASUH bukan DIUSAP. Dan karena itu dari segi Nahwu kata kaki (ARJUL) dibaca Fathah (‘Athof ke kata sebelumnya, AYDIYAKUM)  bukan Kasroh (‘Athof ke kata RU-UUSIKUM)

  
Dan banyak lagi contoh lainnya yang berbahaya menafsirkan Al Qur’an semaunya sendiri tanpa melihat ketentuan dasar penafsiran Al Qur’an. Karena itu berhati-hatilah dengan pengajian yang hanya mengajarkan Al Qur’an melalui terjemahan, carilah pengajian Al Qur’an yang menggunakan kitab-kitab Tafsir yang diakui kebenarannya seperti kitab tafsir Qurtubi, Thobari, Ibnu Katsir, Jalalain dan lain-lain. Pengajian Tafsir Al Qur’an itu pengajarnya harus mengerti Bahasa Arab, Nahwu, Sorof, Balagoh, Ma’ani, Badi’, Ushul Fiqh, Ilmu Hadits, pendapat para sahabat dan para ulama.

Semoga bermanfaat.

1 komentar: