Rabu, 24 November 2010

Hijrah Maknawi dalam Aspirasi dan Sejarah.


Artikel – 1

 

Paradigma Baru dalam Memaknai Nilai Kehidupan.


“Innahuu laqaulun fashl (un)
Sesungguhnya (AlQur’an) itu benar-benr firman yang memisahkan (antara yang hak dan yang bathil).
Wamaa huwa bilhazl (i)
Dan bukanlah ia (diciptakan) dengan sia-sia.
Innahum yakiiduuna kaidaa (n)
Sesungguhnya mereka membuat tipu daya
Wa akiidu kaidaa (n)
Dan Aku membuat tipu daya (pula)
Famahhilil kaafiriina amhilhum ruwaidaa (n)
Maka beri tangguhlah orang-orang kafir itu, beri tangguhlah mereka sebentar”.
(Surat Ath Thaariq ayat 13 – 17).

                     Suatu pengertian yang berkenaan dengan makna atau maksud disebut maknawi. Sedangkan memaknai berarti memberi arti atau maksud dari suatu konsep pemikiran termasuk ekspresinya misalnya yang berkaitan dengan nilai-nilai, antara lain nilai-nilai etika dan nilai-nilai kehidupan secara keseluruhan.
Terdapat beberapa frase yang terhubung dengan makna, antara lain makna gramatikal, makna emotif, makna kontekstual dan sebagainya.
Berikutnya kata hijrah maknawi lebih dekat pada pengertian makna kiasan dan makna kontekstual daripada frase makna lainnya karena berhubungan dengan proses perpindahan abstraksi dari nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam.
                    Yang perlu diperhatikan adalah bahwa proses perpindahan disini tidak sekedar terjadi perbaikan-perbaikan atas nilai-nilai lama, tapi terjadi melalui suatu perombakan dan pembangunan nilai-nilai dengan paradigma yang sama sekali baru. Dengan hidayah dan innayah dari Allah swt., Rasulullah Muhammad saw. secara konsisten mampu mengimplementasikannya diatas tataran tradisi yang kokoh kuat selama berabad-abad yang dibentengi oleh kekuatan-kekuatan pengaruh aristokrasi Quraisy.
Proses menuju kearah kebenaran hakiki tersebut terus bergerak hingga abad ke-15 Hijriah sekarang ini dan akan berlangsung terus, dimana perkembangan syi’ar Islam banyak memperoleh dorongan dan tantangan, simpati dan kedengkian yang datang dari berbagai belahan bumi. Dinamika besar ini akan terus berlanjut, sebuah mekanisme proses yang tidak dialami oleh faham manapun, hingga tercapai faudzul adhiem, suatu kemenangan keutamaan kebenaran hakiki melalui Takdir Illahi.
                        Sebelum Allah swt. menurunkan kitab Al Qur’an ke bumi, sebelum Muhammad saw. diangkat sebagai utusanNya, nilai-nilai kehidupan menggunakan acuan yang kurang jelas makna dan sumbernya. Nilai-nilai kehidupan seperti kebenaran, kemuliaan, kesesatan, kerendahan budi dan sebagainya memiliki makna yang kadang-kadang bias, berbeda antara masyarakat atau komunitas.satu dengan lainnya. Bahkan bisa terjadi kriteria yang berbeda dalam mengartikan dan mengamalkan nilai-nilai yang disebabkan oleh perbedaan tingkat strata sosial. Tidak mengherankan kalau pada waktu itu banyak terjadi diskriminasi penafsiran, karena otoritas penafsiran nilai-nilai yang diarahkan pada kepentingan tertentu. Ajaran filsafat dimodifikasi sedemikian rupa dalam penafsiran dan penerapannya sebagai dalih pembenaran atas tindakan atau kebijakan yang berdasar pada ambisi, dan aspirasi pribadi, bahkan bisa terdorong oleh motivasi-motivasi yang sulit dimengerti .
                       Para filosof dan pemuka spiritual memegang peranan besar dalam melahirkan dan menafsirkan makna nilai-nilai moralitas, etika, aktivitas kehidupan, politik dan sebagainya, dimana konsistensi dan konsekwensinya sering menuntut pengorbanan.
Sebagai illustrasi dapat  dikemukakan awal hubungan yang bersahabat antara anak didik yang bernama Alexander dengan gurunya, yang kemudian berubah pada saat karirnya sebagai penguasa menanjak. Alexander mulai memberikan penafsiran baru atas konsep nilai-nilai, bahkan mengenyampingkan sebagian ajaran-ajaran gurunya yang bernama Aristoteles, yang mendidiknya sejak usia tiga belas tahun.
                      Meskipun demikian Alexander tetap memberikan sumbangan dana yang cukup besar kepada Aristoteles untuk membiayai penelitian-penelitian yang dilakukannya.
Puncak pertentangan antara keduanya terjadi ketika Alexander berubah menjadi penguasa yang otoriter, dimana dia menghukum mati saudaranya yang dituduh berkhianat. Aristoteles menentang keras kebijakan Alexander yang telah melupakan ajaran-ajaran filsafat etika dan kemanusiaan yang pernah diberikan kepadanya, dan sebagai konsekwensinya Alexander bermaksud menyingkirkan Aristoteles karena dituduh terlalu demokratis, tapi maksud ini tidak terlaksana.

Kearifan Ibnu Rusyd memanfaatkan ajaran Aristoteles.
                  Dalam bukunya yang berjudul “The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History”, Michael H. Hart antara lain mengatakan : “Perlu juga dicatat, buah pikirannya (Aristoteles) banyak membawa pengaruh pada filosof Islam, dan berabad-abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd (Averroes) , mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba merumuskan suatu perpaduan antar teologi Islam dengan rasionalismenya Aristoteles”.
Apa yang dikatakan Michael H. Hart tidak sepenuhnya benar, karena essensi ajaran Islam sejak awal diturunkannya sudah mengedepankan rasio atau akal pikiran  yang antara lain tertera pada ayat-ayat berikut ini,
“Patutkah kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat), maka apakah kamu tidak berpikir?”
(Surat Al Baqarah ayat 44).
“Wamaa kaana linafsin an tu’mina illaa bi-idznil laah(i),
wa yaj’alurrijsa ‘alal ladziina laa ya’qiluun(a)”.
“Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah akan menimpakan siksaan atas orang-orang yang tidak mempergunakan akal (nya)”.
(Surat Yunus ayat 100).
                  Pada hakekatnya ratio sudah melekat pada diri manusia sebagai fitrah, sehingga andaikata tidak terdapat filsafat rasionalisme dari Aristoteles, ajaran Islam secara kaffah sudah memilikinya tanpa perlu perpaduan dengan unsur luar. Ibnu Rusyd menata sistimatika karyanya yang terstruktur dalam tiga tatanan yakni komentar, kritik dan pendapat. Hal ini dia lakukan pula terhadap filsafat Aristoteles, terutama keberanian mengkritik, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh filosof-filosof sebelumnya baik dari belahan Barat maupun Timur.
                 Hal ini membuat Ibnu Rusyd menjadi terkenal di Eropa karena dianggap mampu meletakkan paradigma baru dunia filsafat pada waktu itu. Jangkauan pandangan filosofisnya berupa perbaikan atau sesuatu yang sama sekali baru, melahirkan rangkaian logika yang dianggap lebih rationalistis. Para pengaggumnya kurang menyadari atau mengetahui bahwa sumber utama dari pandangan-pandangannya berasal dari kitab suci Al Qur’an dan Al Hadith yang selama ini ditekuni dan dipelajarinya. Maka lahirlah di daratan Eropa kelompok diskusi para filosof dan intelektual yang membahas karya-karya Ibnu Rusyd dengan nama kebanggaan kelompok Averroisme.
                    Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordoba pada tahun 1198, yang berhasil menjadi dokter, ahli hukum dan filosof besar. Tidak terlalu mengherankan kalau dia menjadi intelektual panutan sekaligus kontroversial, karena dilahirkan ditengah-tengah keluarga yang mencintai ilmu pengetahuan, yang dikelilingi buku-buku sains terutama literatur hukum dan kitab-kitab agama Islam. Sejak remaja ia sudah berusaha mendalami Tafsir Al Qur’an, Ilmu Fiqih, Hadith dan sastra Arab, disamping buku-buku kedokteran, hukum, filsafat, matematika, fisika, astronomi dan logika. Pendapat-pendapatnya sering dianggap tidak sejalan dengan tafsir dan ajaran Fiqih yang berlaku dan dianut pada masa itu, sehingga tidak jarang menmbulkan pertentangan dengan tokoh ulama yang lain terutama dengan Imam al Ghazali.
                   Pada masa sekarang ini pandangan dan wawasan orang semakin luas sehingga kemungkinan terjadinya pertentangan semacm itu dapat dihindari. Pemahaman pada ayat-ayat mutasyabihat Al Qur’an yang perlu ditafsirkan secara takwil semakin dikuasai oleh para ulama dan ahli tafsir. Metaforisme yang mensifati ayat-ayat tertentu telah banyak diuraikan secara kontekstual, tidak lagi secara tekstual persis sesuai dengan bunyi Nash yang tertera pada ayat tersebut.

Filsafat terus mencari, Islam sudah menemukan.

                   Apa yang didefinisikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tentang filsafat, kiranya sudah cukup mewakili definisi-definisi lain yang dikemukakan oleh para ahli.

Filsafat adalah: “Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya”, atau “Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistimologi”.
Suatu upaya penyelidikan yang berdasarkan ilmu pengetahuan, logika dan kausalita adalah sebuah proses yang belum berakhir atau menemukan tujuan akhirnya dalam menemukan kebenaran. Karenanya filsafat terus mencari dan mengalami perubahan norma dan essensinya, sejak jaman Plato, Socrates, Rene Descartes hingga masa sekarang ini. Dengan demikian semua konsep pemikiran yang mendasarkan dirinya semata-mata pada konsep filsafat yang rationalistis akan menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang nisbi atau perishable.
                      Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri peranan ilmu filsafat dalam penfsiran ajaran Islam terutama ayat-ayat yang memerlukan takwil dalam memahami makna yang sesungguhnya. Kita masih ingat pada masa pemerintahan Harun Al Rasyid dan puteranya Khalifah Makmun yang sangat mencintai ilmu pengetahun, banyak literatur-literatur Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Mereka yang tertarik pada filsafat Yunani mengelompokkan diri, berusaha menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dengan menggunakan logika berpikir, dan mereka mendapat julukan kaum Muktazilah.
Mungkin makna terjemahan yang lebih dapat diterima bukanlah perpaduan antara Islam dengan filsafat, tapi penggunaan logika atau ratio sebagai metode pendekatan penafsiran, sama halnya menggunakan matematika untuk menjelaskan konsep-konsep sosial atau ilmu kedokteran, ekonomi bahkan pemahaman makna keagamaan.
                      Substansi konsep penggunaan akal pikiran secara inherent (‘built in’) dengan jelas ditampilkan berulang-ulang dalam beberapa ayat-ayat kitab suci Al Qur’an, bahkan ada kewajiban untuk menggunakannya dalam setiap proses solusi permasalahan. Namun diingatkan bahwa jangkauan akal pikiran manusia itu pada hakekatnya sangat terbatas. Untuk dapat menembus batas logika oleh Allah swt. disediakan suatu pegangan yang bernama Iman.
Banyak hal-hal yang dekat pada keseharian dimana logika, sains dan instrumen modern tidak bisa menembusnya antara lain kapan dan dimana seseorang akan meninggal, asal, keberadaan dan perginya roh, serta kejadian-kejadian yang dikelompokkan sebagai ‘belief it or not’ dan semacamnya.
Belum termasuk hal atau kejadian yang lebih besar seperti akan terjadinya Kiamat, keberadan Malaikat dan tugasnya, adanya kebahagiaan di Surga, siksaan di Akhirat dan sebagainya. Kesemunya ini dalam ajaran Islam disebut hal atau kejadian Ghaib, yang sangat sedikit diberikan pada manusia lewat para Nabi atau Rasul dan sebagian besarnya hanya Allah swt. Yang Maha Mengetahuinya.
Dalam surat An Naml ayat 65 – 66 Allh swt. berfirman:
“Katakanlah: Tidak seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui (perkara) yang ghaib, kecuali Allah; dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka dibangkitkan”.
“Bahkan pengetahuan mereka tidak sampai tentang akhirat, bahkan mereka dalam keraguan dari padanya, bahkan mereka buta dari padanya”.
                             Dalam konsep pemikiran pendidikan misalnya, salah satu filsafat Aristoteles yang dianggap Barat masih relevan untuk jaman modern ini ialah;
“ Barang siapa yang sudah merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya”.
Tidak ada yang membantah bahwa kelangsungan hidup suatu negara atau bangsa banyak ditentukan oleh metode dan kualitas pendidikan generasi penggantinya.
Tapi akan terasa terlalu spesifik dan kekurang dalaman makna, bila kita bandingkan dengan kata-kata Luqman Hakim dalam mendidik anaknya, seperti yang tercantum dalam Al Qur’an surat Luqman.
Surat Luqman ayat 13 menanamkan Akidah Taukhid sebagai fondasi hidup utama kepada anaknya yang berbunyi:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu dia memberi pelajaran kepada anaknya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar”.
                       Berikutnya ajaran kemuliaan Luqman berupa kewajiban beramal soleh sebagai bekal hidup yang tidak akan berkurang tapi akan terus bertambah hingga manusia  tiba di tempat tujuan yang diidamkannya seraya mengakui kebenaran kalimah thoyibah ‘Miftahul jannah:La illaha ilallah’
 Setiap amal baik atau buruk walau seberat biji sawi, akan mendapat balasan dari Allah swt. Setiap amal soleh mendapat ganjaran tujuh kali lipat, sedang amal buruk mendapat  balasan sebesar perbuatannya saja.
Selanjutnya surat Luqman ayat 16 berbunyi: “(Luqman berkata pada anaknya)
Hai anakku sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) sebesar biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.
                       Sebagai kewajiban seorang Muslim yang tidak boleh ditinggalkan adalah menegakkan tiang agama berupa perintah shalat, menyikapi berbagai masalah dengan amar ma’ruf nahi mungkar dan ketahanan menghadapi kesulitan, cobaan dan musibah dengan sabar, yang kesemuanya tercantum dalam Surat Luqman ayat 17, yang berbunyi:
“Hai anakku dirikanlah shalat, dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.
                        Ajaran sikap etika yang diajarkan Luqman adalah agar manusia tidak bersikap sombong, angkuh dan membanggakan diri, merupakan pelajaran penting keempat, yang diajarkan Luqman kepada anaknya, seperti tercantum dalam Surat Luqman ayat 18, yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
                       Etika sopan santun berikutnya yang diajarkannya adalah selalu bersikap sederhana dalam bertingkah laku dan berbicara seperti tertuang dalam  Surat Luqman ayat 19, yang berbunyi:
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan (di muka bumi) dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara itu ialah suara keledai”.
                        Sampai seberapa jauh sebenarnya kebutuhan “suatu perpaduan antara teologi Islam dengan rasionalismenya Aristoteles”.
Mungkin kalau disederhanakan pada tingkat pemahaman awam seperti nasehat bagi ibu-ibu yang sedang mengandung agar sering-sering mendengarkan lagu-lagu klasiknya Mozart, Sebastian Bach dan sebagainya agar anaknya kelak memiliki kcerdasan estetika pada otak kanannya dan kecerdasan matematika pada otak kirinya. Sementara puluhan tahun yang lalu para kiai dan ustadz di kampung-kampung sudah menganjurkan pada ibu-ibu yang hamil untuk lebih sering membaca Al Qur’an agar anaknya kelak menjadi orang yang bertakwa dan bermanfaat bagi orang lain; logikanya orang demikian perkembangan dan keseimbangan otak kiri dan kanan akan bergerak naik secara proportional. Subhanallah!

(Sumber: “Seratus Tokoh” Michael H. Hart; Ensiklopedi Islam dan Lain-lain).
                        

Amanah Tuhan.
Vocal: Acil Bimbo
Lagu: Djaka Bimbo
Lyric: Acil Bimbo

Amanah Tuhan
Titipan harta pada kita
Hiasan dunia (dan) akhirat
Ibadah kita

Amanah Tuhan
Cintai sesama di dunia
Pelihara tangan dan lidah
Ibadah kita

Lihatlah seputar kita
Kerusakan dan bencana
Hilang kedamaian diri
Karena harta

Karena hiasan dunia
Mesti kehilangan cinta
Cinta Tuhan dan sesama
Gelap hatinya

Adalah amanah Tuhan
Sejengkal tanah, setetes hujan
Segala nikmat tercurah
diperhitungkan






Tidak ada komentar:

Posting Komentar