Rabu, 24 November 2010

METODOLOGI TAFSIR AL-QUR’ANUL ‘AZHIM (IBNU KATSIR)

                                        
 ( Oleh : Muhammad Ramdhoni, Mahasiswa Semester I STID Muhammad Natsir )
I.       Muqaddimah
1.1.      Kata  Pengantar
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan begitu banyak nikmat dan karunianya kepada kita semua, sehingga kita mampu untuk melaksanakan rutinitas kita. Shalawat serta salam semoga tetap mengalir kepada Rasulallah Muhammad saw. Yan telah mengemban risalah kenabian dengan baik sehinga kita dapat mersakan nikmat iman dan islam.
Al-Qur’an adalah sumber hukum pertama umat Islam. Kebahagiaan mereka bergantung pada kemampuan memahami maknanya, pengetauan rahasia-rahasianya dan pengalaman yang terkandung didalamnya. Kemampuan setiap orang dalam menafsirkan Al-Qur’an tentu berbeda, padahal penjelasan ayat-ayatnya begitu jelas. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah sesutau yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna lahirnya dan bersifat global. Sedangkan kalangan cendikiawan dan terpelajar akan dapat memahami dan menyingkap makna-maknanya secara menarik. Didalam kedua kelompok inipun terdapat aneka ragam dan tingat pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya  melaluai pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata yang asing atau dalam mena’wilkan suatu  redaksi kalimat.
Umat Islam memiliki banyak sekali ahli tafsir, diantara mereka  ada dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in bahkan ada juga dari ulama zaman ini yang mencoba untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an. Dalam tulisan yang singkat ini kami akan menganalisa bagaimana Ibnu Katsir menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
1.2.      Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan Mu’jizat Islam yang abadi, dimana semakin maju  ilmu pengetahuan, semakin jelas kemu’jizatannya. Allah swt. Menurunkannya kepada nabi Muhammad saw. Demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya ilahi, dan membimbing mereka kejalan yang lurus. Rasulallah menyampaikannya kependuduk asli Arab yang  sudah tentu dapat memahami tabiat mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakan kepada Rasulallah saw..
Dalam ilmu tafsir Al-Qur’an banyak sekali ulama yang mencoba menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Dalam penafsirannya para mufassirin dibagi kedalam dua kelompok, yaitu mufassir yang menafsirkan ayat dengan menggunakan metode bil ma’tsur  dan para mufassirin yang menafsirkan ayat dengan menggunakan metode bir Ra’yi. Metode bil ma’tsur yaitu menafsirkan ayat dengan ayat, ayat dengan sunnah, ayat dengan perkataan shahabat atau ayat dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in. Sedangkan   metode bir ra’yi yaitu menafsirkan ayat dengan pemahaman mufassir sendiri.
Adapun dalam tulisan ini kami aka mencoba meneliti metode yang dipakai Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an yang konon katanya merupakan tafsir Al-Qur’an bil ma’tsur terbaik kedua setelah tafsir at-Thabari. Penulisan ini bertujuan untuk memperoleh nilai tugas dari dosen Ulmul Qur’an.
1.3.      Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini kami menggunakan beberapa pertanyaan yaitu :
1.      Bagaimanakah Ibnu Katsir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam tafsirnya
2.      Apa kelebihan dan kekurangan tafsir Ibnu Katsir

II.    Profil Tokoh
2.1.   Biografi Singkat Ibnu Katsir
Nama lengkap Ibnu Katsir ialah, Abul Fidâ ‘Imaduddin Isma’il bin Syeh Abi Haffsh Syihabuddin Umar bin Katsir bin Dla`i ibn Katsir bin Zarâ` al-Qursyi al-Damsyiqi. Ia di lahirkan di kampung Mijdal, daerah Bashrah sebelah timur kota Damaskus, pada tahun 700 H. Ayahnya berasal dari Bashrah, sementara ibunya berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hafsh Umar ibn Katsir. Ia adalah ulama yang faqih serta berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal dengan ahli ceramah. Hal ini sebagaimana di ungkapkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya (al-Bidâyah wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H. di daerah Mijdal, ketika Ibnu Katsir berusia tiga tahun, dan dikuburkan di sana.
Ibnu Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini sebagaimana yang ia utarakan;  “ Anak yang paling besar di keluarganya laki-laki, yang bernama Isma’il, sedangkan yang paling kecil adalah saya. Kakak laki-laki yang paling besar bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail.
Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan ayahnyalah pribadi Ibnu Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya, bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu melahirkan sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun. Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan.
Ibnu Katsir mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat kala itu Ibnu Katsir baru berumur tiga tahun, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Ketika genap usia sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an.
Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand Syaikh Damaskus, yaitu Syaikh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari (w. 729) terkenal dengan ibnu al-Farkah,  tentang fiqh syafi’i. lalu belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada syaikh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada; Isa bin Muth’im, syeh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibn Syayrazi, Syaikh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748), Syaikh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, Syaikh Ishaq bin al-Amadi (w. 725), Syaikh Muhamad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri Syaikh al-Mazi. Syeh al-Mazi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u al-kutub-i al-sittah“.
Begitu pula, Ibnu Katsir berguru Shahih Muslim kepada Syaikh Nazmuddin bin al-Asqalani. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibnu Katsir; mereka adalah Ibnu Taymiyyah. Banyak sekali sikap Ibnu Katsir yang terwarnai dengan Ibnu Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibnu Taymiyyah.
Sementara murid-murid beliaupun tidak sedikit, diantaranya Syihabuddin bin haji. Pengakuan yang jujur lahir dari muridnya, “Ibnu Katsir adalah ulama yang mengetahui matan hadits, serta takhrij rijalnya. Ia mengetahui yang shahih dan dha’if”. Guru-guru maupun sahabat beliau mengetahui, bahwa ia bukan saja ulama yang kapabel dalam bidang tafsir, juga hadits dan sejarah. Sejarawan sekaliber al-Dzahabi, tidak ketinggalan memberikan sanjungan kepada Ibnu Katsir, “Ibnu Katsir adalah seorang mufti, muhaddits, juga ulama yang faqih dan kapabel dalam tafsir”.
Genap usia tujuh puluh empat tahun akhirnya ulama ini wafat, tepatnya pada hari Kamis, 26 Sya’ban 774 H. Ia di kuburkan di pemakaman shufiyah Damaskus, disisi makam guru yang sangat dicintai dan dihormatinya yaitu Ibnu Taimiyah. [1]
III.  Karya  - karya Ibnu katsir
3.1.   Sekilas tentang karya  - karya Ibnu katsir
Sosok ulama seperti Ibn Katsir, memang jarang kita temui, ulama yang lintas kemampuan dalam disiplin ilmu. Spesialisasinya tidak hanya satu jenis ilmu saja. Selain itu, ia juga sangat produktif dalam karya, telah banyak karya-karya yang lahir dari tangan dan ketajaman berpikirnya. Di antara karya-karya beliau adalah :
1.     Tafsîr al-Qur`an al-Azhîm ( akan kita bahas dalam tulisan ini)
2.         Al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Buku ini membahas tentang sejarah. Buku ini sering dijadikan rujukan para peneliti sejarah. Sumbernya begitu autentik. Karyanya ini berisikan berbagai tinjauan sejarah. Pertama, pemaparan tentang sejarah dan kisah Nabi-nabi beserta umatnya di masa lalu. Kisah ini ditopang dengan dalil-dalil yang kuat, baik itu dari al-Qur`an maupun al-Sunnah, juga pendapat-pendapat para mufassir, muhaddits dan sejarawan. Kedua, Ia menguraikan secara jelas mengenai bangsa Arab jaman jahiliyah, kemudian bangsa Arab ketika kedatangan Nabi Saw dan perjalanan dakwah Nabi Saw beserta para sahabatnya. Buku ini di akhiri dengan kisah Dazzal, juga ia ungkapkan mengenai tanda-tanda kiamat lainnya.
3.         Al-Takmîl fî makrifati al_tsiqât wa al-dlu’afâ` wa- al majâhil.                                Buku ini adalah rujukan dalam ilmu hadist serta untuk mengetahui jarh wa ta’dil. karya ini adalah karya gabungan dua karya imam Dzahabi yaitu Tahdzîbu al-kamâl fî asmâ`i al rijâl dan Mîzân al i’tidâl fî naqdi al-rijâl dengan tambahan dalam jarh wa ta’dil.
4.        Al-Hadyu wa al-Sunan fî Ahâdits al-Masânid wa al-Sunan atau yang mashur dengan istilah Jâmi’ al-Masânid. Dalam kitab ini, Ibnu Katsir menggabungkan kitab musnad imam Ahmad (w.241), al-Bajjar (w.291), Abi Ya’la (w.307) Ibn Abi Syaybah (w.297), bersama kitab yang enam. Kemudian Ia menyusunnya dengan bab per bab.
5.      Al-Sîrah al-Nabawiyah.
6.      Al-Musnad al-syaykhân (musnad Abu Bakar dan Umar).
7.          Syamâil al-rasûl wa dalâilu nubuwwatihi wa fadlâilihi wa khashâ`isihi (di nukil    dari kitab bidâyah wa nihâyah)
8.        Ikhtishar al-Sîrah al-Nabawiyah. Di ambil dari bidâyah wa nihâyah terkhusus    mengenai kisah bangsa Arab jaman jahiliyah dan jaman Islam serta sirah Nabi Saw.
9.       Al-Ahâdîts al-tawhîd wa al-rad ‘alâ al-syirk.
10.        Syarh Bukhari (tidak selesai)
11.        Takhrîj ahâdîts muktashar ibn al-hâjib.
12.      Takhrîj ahâdîts adillatu al-tanbîh fî fiqh al-syaafi’i.
13.     Muktashar kitab Bayhaqi (al-madkhal ilâ al-sunan)
14.     Ikhtishar ‘ulûmu al-hadîts li ibn al-shalâh.
15.     Kitâb al-simâ’.
16.     Kitâb al-ahkâm (tidak selesai hanya sampai bab haji saja)
17.     Risâlah al-jihâd.
18.     Thabâqât al-syafi’iyyah.
19.     Al-Kawâkib al-Dirâri (dinukil dari kitab bidâyah wa nihâyah)
20.     Al-Ahkâm al-Kabîrah.
21.     Manâqib al-syâfi’i..
3.2.      Bentuk fisik tafsir Ibnu Katsir
Pada mulanya  buku ini ditulis dengan sepuluh jilid, tapi  kemudian dicetak dengan empat jilid dengan jilidan yang sangat tebal. Pada terbitan Daarul Jiil, Beirut, tahun 1991, kalasifikasinya seperti berikut :
1.      Jilid I, dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nisaa. Tebal : 552 halaman
2.      Jilid II, dari surat al-Maidah sampai surat an-Nahl. Tebal : 573 halaman
3.      Jilid III, dari surat al-Israa samapai surat Yaasiin.    Tebal : 558 halaman
4.      Jilid IV, dari surat as-Shaafat sampai surat an-Naas. Tebal :580 halaman [2]

IV.  Metodologi  Tafsir ibnu Katsir
Sebelum kita mengambil beberapa penafsiran dari ayat Al-Qur’an yang telah ditafsiran Ibnu Katsir, alangkah lebih baiknya kita mengenal latar belakang keilmuan dan kondisi yang terjadi pada masa Ibnu Katsir, sehingga kita mengetahui bagaimana relevansi kondisi itu denan peafsiran ayat Al-Qur’an.
Karakater karya seseorang tidak akan bisa dilepaskan dari kecondongan minat orang tersebut, kira-kira seperti itu jugalah tafsir ibnu  katsir. Sosok Ibnu Katsir yang condong kepada keabsahan turats telah ikut mewarnai karyanya. Begitu juga hal ini tidak bisa lepas dari kondisi jaman saat itu, perhelatan aliran pemikiran pada abad ke 7/8 H memang sudah kompleks. Artinya telah banyak aliran pemikiran yang telah ikut mewarnai karakter seseorang.
Pemahaman yang orisinil untuk mempertahankan keauntetikan Qur`an dan sunnah terus dijaga.  Inilah sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Selain itu, kelompok-kelompok yang mengagungkan akal secara berlebihan dan thariqah-thariqah shufiyah telah beredar luas kala itu. Islam telah berkembang pesat dan banyak ‘agamawan’ yang masuk ke dalam Islam. Hal ini ikut pula mempengaruhi sekaligus mewarnai perkembangan wawasan pemikiran.
Ibnu Katsir yang telah ter-sibghah dengan pola pikir gurunya (Ibnu Taymiyah) sangat terwarnai dalam metode karya-karyanya. Sehingga dengan jujur Ia berkata, bahwa metode tafsir yang ia gunakan persis sealur dan sejalur dengan gurunnya Ibnu Taymiyyah. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tafsir ibnu katsir telah menjadi rujukan kategori tafsir bil-ma’tsur. Yang tentunya hal ini tidak bisa dipisahkan dari metode beliau dalam karyanya.
Untuk lebih jelasnya mari kita analisa beberapa ayat berikut :
1.      Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 47 juz 1
ûÓÍ_t6»tƒ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) (#rãä.øŒ$# zÓÉLyJ÷èÏR ûÓÉL©9$# àMôJyè÷Rr& ö/ä3øn=tæ ÎoTr&ur öNä3çGù=žÒsù n?tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÍÐÈ  
“ Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya aku telah melebihkan kamu atas segala umat.”
            Allah mengingatkan Bani Israil akan nikmat yang dulu diberikan kepada nenek moyang dan pendahulu mereka. Yaitu nikmat keungulan mereka berupa pengangkatan sebagian mereka menjadi rasul, penurunanan Al-Kitab, dan mengunggulkan mereka atas umat lain pada zamannya, sebagaimana Allah berfirman , “ Dan sesunguhnya telah kami pilih mereka dengan pengetahuan (kami) atas bangsa-bangsa.’ ( Ad-Dukhan : 32). Abul Aliyah berkata, “ mereka mendapat keunggulan melalui kerajaan, pra rasul, da kitab-kitab, atas umat lain pada zamannya. Karena pada setiap zaman ada umat yang unggul.
            Diriwayatkan dari mujahid dan dari yang lainnya bahwa ayat di atas harus ditafsirkan seperti itu, karena umat ini, yakni umat islam, lebih unggul dari bani israil, berdasarkan firman Alah tenang umat ini, “ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf  dan menceah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman , tentulah itu lebih baik bagi mereka.” ( Ali-Imran :110), maka ayat diatas tidak boleh dibelokan unuk mengunggulkan Bnai Israil atas umat-umat yang lain, baik yang sebelum taupun ssesudahnya. Ibrahim yang ada sebelum mereka adalah lebih unggul dar segenap nabi  terdahulu. tetapi Muhamad saw. Yang lahir setelah mereka adalah orang yang paling unggul atas semua mahluk, junjungan umat manusia, baik didunia aupun di akhirat. Shalawat, salam dan erkah Allah semoga terlimpah atasnya.
2.      Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 210 juz 2
ö@yd tbrãÝàYtƒ HwÎ) br& ãNßguŠÏ?ù'tƒ ª!$# Îû 9@n=àß z`ÏiB ÏQ$yJtóø9$# èpx6Í´¯»n=yJø9$#ur zÓÅÓè%ur ãøBF{$# 4 n<Î)ur «!$# ßìy_öè? âqãBW{$# ÇËÊÉÈ  
“ Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan Malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.”
            Allah mengancam kaum kafir,” Tiada yang mereka nanti-nantikan kecuali Allah mendatangkan merka dalam naungan awan dan malaikat,” yakni pda hari kiamat sebagai penetapan keputusan antara orang-orang terdahulu dan kemudian, lalu setiap pelaku dibalas selaras dengan perilakunya. Jika perilakunya baik maka akan dibalas dengan kebaikan , dan jika buruk maka dibalas dengan keburukan. Oleh karena itu Allah swt. berfirman lalu diputuskan lah persoalan itu, dan kepada Allah –lah segala persoalan itu dikembalikan”, sebagaiman Allah berfirman, “ Jangan (berbuat demikian).  Apabila bumi diguncangkan berturut-turut dan datanglah Tuhanmu, sedangkan malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka jahanam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan, ‘ Alangkah baiknya jika aku dahulu mengerjakan (amal shaleh) untuk hidupku ini.” ( al-Fajr :21-24)
              Berkaitan dengan kejadian itu, Ibnu Jarir menuturkan sebuah hadits  yang akan dikemukakan intinya. Hadits itu diterima dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw. . Hadits ini terkenal dan dideretkan bukan hanya oleh seorang  dari berbagai sanad. Dalam hadits itu dikatakan, “….Sesunguhnya tatkala manusia hendak menuju tempatnya di beberapa lapangan, maka mereka akan meminta syafaat kepada Tuhan mereka melalui para nabi, satu demi satu, mulai dari Adam kemudian kepada nabi  yang sesudahnya. Semuanya menyatakan tidak mampu untuk member manfaaat. Akhirnya sampailah mereka kepada nabi Muhammad saw.. Ketika mereka menemuinya, beliau bersabda, ‘Aku akan memintakan  syafaat …aku akan memintakannya.’ Kemudian beliau pergi dan bersujud kepada Allah dibawah Arasy. Beliau memberikan syafaat, pada sisi Allah untuk tampi menyelesaikan permasalahan diantara para hamba. Dia menjadkan nabi dapat memberi syafaat, dan Dia datang dalam naungan awan dan malaikat. Kedatangan-Nya itu terjadi setelah terbelahnya langit dunia dan turunnya para  malaikat yang ada disana. Kemudian terbelah pula langit kedua, ketiga hingga langit ketujuh. Kemudian turu pula para malaikat yang memikul Arasy dan malaikat karabiyun. Nabi bersabda,’ maka turunlah yang maha perkas Azza wa jalla dalam naungan aan dan malaikat yag bergemuruh oleh suara tasbih mereka yang mengatakan : ‘Maha suci pemilik kekuasaan dan seluruh kerajaan, maha suci pemilik kegagahan dan keperkasaan, Maha suci Dzat yang hidup dan tdak akan mati, mahasuci zat yang mematikan seluruh makhluk sedang Dia tidak akan mati, Mahasuci, Maha qudustuhan para malaikat dan Jibril, Mahasuci dan Mahaqudus kesucian Tuhan kami yang Maha tinggi, Mhasuci pemiik kekuasaan dan kebesaran, dan Mahasuci…..Mahasuci….untuk selama-lamanya..selamanya”.
3.      Al-Qur’an surat  an-Naba ayat 31-36 juz 30
¨bÎ) tûüÉ)­FßJù=Ï9 #·$xÿtB ÇÌÊÈ   t,ͬ!#ytn $Y6»uZôãr&ur ÇÌËÈ   |=Ïã#uqx.ur $\/#tø?r& ÇÌÌÈ   $Uù(x.ur $]%$ydÏŠ ÇÌÍÈ   žw tbqãèyJó¡o $pkŽÏù #Yqøós9 Ÿwur $\/º¤Ï. ÇÌÎÈ   [ä!#ty_ `ÏiB y7Îi/¢ ¹ä!$sÜtã $\/$|¡Ïm ÇÌÏÈ    
31. Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan,
32. (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur,
33. Dan gadis-gadis remaja yang sebaya,
34. Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman).
35. Di dalamnya mereka tidak mendengar Perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) Perkataan dusta.
36. Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak,
              Allah swt. menggambarkan  tentang  orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan beserta kemulian dan kenikmatan abadi  yang telah disediakan Allah Ta’ala bagi mereka. Allah swt. berfirman, “ Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapatkan kemenangan. “ Ibnu Abbas mengatakan mafazan artinya berjalan-jalan, karena selanjutnya Allah swt. berfirman,” Kebun-kebun dan buah anggur dan gadis-gadis  remaja yang sebaya ,” yaitu bidadari yang montok buah dadanya. Mereka adalah gadis yang sebaya dan sangat mencintai pasanganya.
              Allah swt. berfirman , “ Dan gelas-gelas yang penuh,” berisi terus menerus, tak pernah kosong . ”Didalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak pula dusta,” sebagaiman firman-Nya,” Didalam surga  itu mereka saling memperebutkan piala yang isinya tidak (kata-kata) yang tidak berfaedah dan tidak pula perbuatan dosa.       ”( ath-Thuur :23) yaitu, di dalam surga itu tidak terdapat kata-kata yang tidak berfaedah dan tidak pula dosa dan dusta, bahkan surga merupakan tempat tinggal yang dipenuhi dengan kesejahteran dan semua yang terdapat didalamnya selamat dari berbagai macam kekurangan.
               Allah swt. berfirman ,” Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup”.  Yaitu semua yang disebutkan ini merupakan balasan Allah terhadap mereka , dan Allah memberikannya kepada mereka sebagai karunia, nikmat, kebaikan dan rahmt-Nya. “ Dan pemberian yang cukup”.  Hisaban  dalam ayat ini arinya ‘cukup’. Arti ini terdapat dalam ungkapan hasbiyallah, artinya ‘cukup Allah bagi diriku, tidak perlu yang lain’.
               Dari penafsiran diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa metode yang digunakan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1.      Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Pendeknya, Ia menjelaskan satu ayat dengan ayat yang lain, karena dalam satu ayat di ungkapkan dengan abstrak (mutlak) maka pada ayat yang lain akan ada pengikatnya (muqayyad). Atau pada suatu ayat bertemakan umum (’âm) maka pada ayat yang lain di khususkan (khâsh). Ibnu Katsir menjadikan rujukan ini berdasarkan sebuah ungkapan, “bahwa cara yang paling baik dalam penafsiran, adalah menafsirkan ayat dengan ayat yang lain”. Pada contoh diatas yaitu surat al-Baqarah ayat 47, al-Baqaah ayat 210 serta an-Naba ayat 35, Ibnu Katsir menyitir ayat al-Qur’an ang lain untuk lebih jelas menafsirkannya.
2.      Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah (Hadits).  Ibnu Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat dengan berpuluh-puluh hadits –bahkan mencapai 50 hadits – kasus ini bisa dilihat ketika menafsirkan surat al-Isrâ. Adapun pada contoh diatas terdapat pada surat al-Baqarah ayat 210.
3.      Tafsir Qur`an dengan perkataan sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu tidak mendapati tafsir dari suatu ayat dari al-Qur`an dan Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai rujukannya, karena para sahabat adalah orang yang adil dan mereka sangat mengetahui kondisi serta keadaan turunnya wahyu. Ia menjadikan konsep ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya atas perkataan Ibnu Mas’ud: “demi Allah tidak suatu ayat itu turun kecuali aku tahu bagi siapa ayat itu turun dan di mana turunnya. Dan jika ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai kitab Allah, pastilah aku akan mendatanginya“. Juga riwayat yang lain mengenai didoakannya Ibnu Abbas oleh Rasululllah saw, “ya Allah fahamkanlah Ibnu Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta’wil kepadanya“. Kita dapat melihat pada surat an-Naba ayat 31 beliau menukil perkataan Ibnu Abbas.
4.      Menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Cara ini adalah cara yang paling akhir dalam cara menafsirkan Al-Qur`an dalam metode bil-ma`tsur. Ibnu Katsir merujuk akan metode ini, karena banyak para ulama tafsir yang melakukannya, artinya, banyak ulama tabi’in yg dijadikan rujukan dalam tafsir. Seperti perkataan ibnu Ishaq yang telah menukil dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibnu Abbas, dan ia menyetujuinya. Sufyan al-Tsauri berkata, “jika Mujahid menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”. Selain Mujahid, di antara ulama tabi’in adalah Sa’id bin Jabir, Ikrimah, Atha’ bin Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajdi, Sa’id bin Musayyab, Abu al-’aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah, al-Dahhaak bin Muzaahim Radliyall^ahu ‘anhum[3]. Kita dapat melihat pada surat al-Baqarah ayat 47 beliau menukil perkataan Mujahid.
4.2. Sikapnya terhadap Israiliyat
Sikap Ibnu Katsir dalam israiliyat sama dengan gurunya Ibnu Taymiyyah, akan tetapi dia lebih tegas sikapnya dalam menghadapi masalah ini. Sebagaimana ulama yang lain, Ibnu Katsir mengklasifikasikan israiliyat ke dalam tiga jenis. Pertama, riwayat yang shahih dan kita harus meyakininya. Pendeknya, riwayat israiliyat tersebut sesuai (baca: ada) dengan apa yang di ajarkan oleh syari’at Islam. Kedua, riwayat yang bersebrangan dengan Islam, berarti kewajiban untuk ditolak, karena riwayat ini adalah riwayat dusta. Ketiga, riwayat yang tawaquf ditangguhkan. Hal ini menuntut sikap untuk tidak meyakini 100 % dan menolak 100%. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, kabarkanlah oleh kamu tentang bani Israil karena hal itu tidak mengapa bagi kamu…“. Dan hadits lain, “janganlah kamu sekalian membenarkan mereka, juga jangan mendustakan mereka”. Untuk point pertama dan kedua ibnu Katsir sepakat dengan ulama yang lain tapi untuk point ketiga Ibnu Katsir kurang sepakat dalam tatanan realitanya. hal ini bisa kita cermati, ketika beliau banyak mengedepankan tentang larangan periwatan israiliyat yang Ia suguhkan dalam metode tafsirnya.
Begitu pula, Ia banyak melontarkan kritik terhadap riwayat israiliyat, karena riwayat ini kurang mempunyai faidah baik itu dalam permasalah keduniaan maupun problematika keagamaan. Berbagai trik Ia gunakan dalam menghadapi riwayat ini. Seperti, tidak menyebutkan riwayat ini atau, kalaupun ia ungkapkan ia sandarkan kepada orang yang mengatakannya. Lalu ia diskusikan dan menjelaskan kelemahan serta sisi kekurangan riwayat ini
4.3. Referensi tafsirnya
Setelah diteliti oleh muhaqqiq dalam bidang tafsir dan hadits, tafsir Ibnu Katsir sangat ilmiah dan kaya dengan referensi yang sulit di dapat. Bahkan sekarang ada beberapa jenis referensi yang sudah tidak ada dan sangat sulit dicari. Betapa karya ini kaya dengan ilmu yang menyimpan mutiara-mutiara berharga, karena Ibnu Katsir menjadikan referensi karyanya yang diambil dari berbagai disiplin ilmu, Baik itu tafsir, ilmu tafsir, hadits, ilmu-ilmu hadits, lughah, sejarah, fiqh, ushul fiqh, bahkan geografi. Dari hasil penelitian, tafsir ibn katsir menjadikan rujukannya tidak kurang dari 241 referensi yang terkumpul dari berbagai disiplin ilmu. Dari jumlah itu bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kutub al-muqaddasah; al-qur`an, at-taurat dan injil.
2. Tafsir dan ilmunya, tidak kurang dari 36 judul buku dari berbagai pengarang.
3. Hadits, syarh hadits dan ilmu-ilmunya terdiri dari 71 judul buku dari berbagai pengarang.
4. Fiqh dan ilmu ushul fiqh yang terhipun dari 32 judul buku.
5. Sejarah tidak kurang dari 25 judul buku.
6. Bahasa dan disiplin ilmunya 4 judul buku.
7. Kategori berbagai disiplin ilmu terdiri dari 44 judul buku.
8. Kategori karya umum: 7 judul buku.
9. Naql langsung dari guru-guru ibn katsir.
10. Kategori umum yang tidak bisa dilacak kurang lebih 13 jenis.
4.4. Komentar para ulama
Dalam hal ini Rasyid Ridha berkomentar “ Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberian perhatian besar pada riwayat-riwayat dari para mufassir salaf, menjelaskan mana-mana ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan masalah I’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassirin, menghindar dari pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-Qur’an secara umum atau hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.”[4]. Imam  Suyuthi (w.911) berkata mengenai tafsir ibnu katsir, “lam yu-laf ‘alâ namthihi mitsluhu“( belum pernah ada kitab tafsir yang semisal dengannya).

V.    Keistimewaan metodologi Tafsir Ibnu Katsir
Keistimewaan tafsir Ibnu Katsir ini bisa kita jabarkan ke dalam beberap point; pertama, nilai (isi) tafsir tersebut tidak hanya tafsir atsari saja (bilma’tsur), yang menghimpun riwayat serta khabar. Tapi beliau juga menghimpun referensi yang lain. Kedua, menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan rahasia yang dalam dengan keserasiannya, keselarasan lafadnya, kesimetrisan uslubnya serta keagungan maknanya. Ketiga, menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat tersebut dari shahih dan dla’if, dengan mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa ta’dîl. Pada kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan menda’ifkan riwayat yang lain. Keempat, keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang mempunyai kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibnu Katsir ahli tafsir, tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat mengetahui sanad suatu hadits. Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu riwayat dengan naql yang shahih dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat yang dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunia ataupun di akhirat kelak.
Kelima, jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal kebohongannya dengan menggunakan konsep jarh wa ta’dil. Keenam, mengekspresikan manhaj al-salâfu al-shaleh dalam metode dan cara pandang, sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.

VI.    Kelemahan metodologi tafsir Ibnu Katsir
Dari analisa di atas, menurut saya  terdapat beberapa kekurangan dalam penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan Ibnu Katsir, yaitu diantaranya kurang membahas masalah I’rab dan ketatabahasaan dalam menafsirkan aat-ayat dalam Al-Qur’an. Dari hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari ualama al-Azhar terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran dalam karyanya yaitu
Memang catatan yang ditujukan kepada tafsir ini tidak mengurangi keilmiahan dan nilai tafsir ini -insya Allah-. Dalam hal ini, catatan tersebut di uraikan sebagai berikut:
1. Kesalahan dalam penyandaran. Contohnya, dalam tafsir surat Âli ‘Imrân:169. Ia menyebutkan riwayat Ahmad; tsana Abdul Samad, tsana Hamâd, tsana Tsabit, ‘an Anas marfû’an, “mâ min nafsin tamûtu laha…” al-hadits. Ibn katsir berkata, “tafarrada bihi muslim min tharîq Hamâd“. Hadits ini dikeluarkan oleh imam Muslim dari jalan Humed dan Qatadah dari Anas. Imam Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dari Tsabit melalui jalur Anas. Sebenarnya yang meyendiri itu adalah riwayat Ahmad, “tafarrada bihi ahmad min tharîq Hamâd“.
2. Kesalahan dalam nama sahabat yang meriwayatkan hadits, atau penyandaran hadits kepada sahabat, padahal tidak terdapat hadits sahabat tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir surat yusûf:5. Dalam penafsiran surat ini, Ia mengungkapkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan sebagian Ahli Sunan dari Muawiyyah ibn Haydah al-Qusyayrî sesungguhnya dia berkata, Rasulullah bersabda, “al-Ru`ya ‘alâ rajuli thâ`ir mâ lam tu’bar…..“. Seperti inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah ibn Haydah yang diriwayatkan oleh imam Ahmad. Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibn Majah serta yang lainnya meriwayatkan hadits dari Abi Rizin al-’Uqayli. Padahal hadits ini tidak diriwayatkan dari Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin al-’Uqayli.
3. Kesalahan dalam mata rantai sanad. Contoh, tafsir surat al-An’am:59 dari ibn Abi Hâtim dengan sanadnya kepada malik ibn Sa’îr, tsnâ al-A’mas, dari Yazid ibn Abi Ziyad dari Abdullah ibn al-Harits dia berkata, “mâ fî al-ardli min syajaratin….“. ibn Katsir berkata, seperti inilah ibn Jarir meriwayatkan (11/13308), Ziyad ibn Yahya al-Hasani Abu al-Khathab. Sementara dalam tafsir ibn katsir di dapati bahwa yang meriwayatkan itu, Ziyad ibn Abdullah al-Hasani abu al-Khatab. Ini jelas keliru, karena riwayat yang sebenarnya ialah Malik ibn Sa’ir melalui jalan Ziyad ibn Yahya al-Hasani abu al-Khatab dari Ziyad.
4. Kurang menyentuh dalam menyandarkan riwayat. Contoh, sebagaimana yang Ia ungkapkan dalam menafsirkan surat Âli ‘Imrân:180. Ia mengemukakan hadits, “lâ ya`ti al-rajulu mawlâhu fayas`aluhu…“. Ibn Katsir merasa cukup menyandarkan dalam periwayatannya kepada ibn Jarir dan Ibn Mardaweh. Padahal, hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i dan yang lainnya, yang lebih utama untuk di sandarkan.
5. Lupa dalam menukil beberapa perkataan ulama. Contonya, tafsir surat al-A’raf:8. Ia menyebutkan hadits riwayat imam Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengomentari hadits ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa shahhahahu“. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla, hadza al-hadîts hasan gharîb“.

VII.          Penutup
Ibnu Katsir sebagai sosok ulama yang saleh telah meninggalkan karya yang sangat bermanfaat sekali. lontaran keilmuan yang ia lontarkan, merupakan gayung bersambut dari amanah yang telah diembankan kepada ummat. Itulah salah satu tanggung jawab yang ia kontribusikan kepada kita. Metode serta cara berpikirnya telah memperlihatkan dan mempersembahkan metode yang dijadikan standar dalam penelitian, dan senantiasa dijadikan tolak ukur.
Dalam penelitian yang sederhana ini kami dapat menyimpulkan bahwa  tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir yang menggunakan metodologi bil ma’tsur, bahkan merupakan tafsir bil ma’tsur yang mendapatkan predikat termasyhur kedua setelah tafsir at- Thabari.
Tafsir ini memiliki banyak keunggulan diantaranya yaitu kehati-hatian Ibnu katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, terlebih kaitannya dengan Hadits atau Khabar yang kurang tsiqah. Beliau mencoba sejauh mungkin untuk menghindarinya. Begitupun dengan Israilliyat.
Tidak ada gading yang tidak retak, begitupun dalam tafsir ini. Sebagai buah karya dari manusia biasa, tentu saja dalam tafsir ini ada kekurangannya yaitu kurangnya pembahasan mengenai i’rab dan tatabahasa dalam penafsiran ayat, dan disamping ada beberapa kekeliruan diatas. Tetapi ini tidak mengurangi kualitas tafsir ini.
Akhirnya semoga apa yang telah saya usahakan dapat bermanfaat bagi kita semua, dan dapat memotivasi kita untuk lebih mentadaburi Al-Qur’an. Atas kekurangannya saya mohon maaf. Wallahu waliyuttaufiq.




















Daftar Pustaka
www. suryaningsih.worpress.com,/ Desember 2008
 Al-Qaththan, Manna’,  pengantar studi ilmu Al-Qur’an, terjemahan Ainurrafiq, Jakarta : pustaka al-Kautsar, 2006, cet. I,
Al –Utsaimin , Muhammad Shalih dan Nashiruddin al-Albani, Belajar mudah ilmu  tafsir, terjemah Fariid Qusy, Jakarta : Daarus sunnah, 2005,
Ar-Rifa’I, Muhammad Najib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: GIP, 2000
Katsir, Ibnu,  Tafsir Al-Qur’anul ‘adzim, Beirut : Daarul Jiil, 1991, cet I




[1] www. suryaningsih.worpress.com,/Desember 2008
[2] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul ‘adzim, Beirut : Daarul Jiil, 1991, cet I
[3] Muhammad bin Shalih al –Utsaimin dan Nashiruddin al-Albani, Belajar mudah ilmu  tafsir, terjemah Fariid Qusy, Jakarta : Daarus sunnah, 2005, hal. 67
[4] Manna’ al-Qaththan, pengantar studi ilmu Al-Qur’an, terjemahan Ainurrafiq, Jakarta : pustaka al-Kautsar, 2006, cet. I, hal. 456

Tidak ada komentar:

Posting Komentar