Rabu, 24 November 2010

Menggapai Hikmah Pelangi Kisah.



Bagian 7.
Membaca Ungkapan Metaforis dengan Makna Kontekstual.

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin

dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat,
maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan
dan dosa yang nyata”.
(Surat Al Ahzab ayat 58).

Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata Rasulullah saw. berjalan melalui
dua kuburan, kemudian beliau bersabda:

“Sesungguhnya kedua orang yang berada dalam kubur itu sedang

disiksa; keduanya itu disiksa bukan karen dosa besar, tetapi kedua
hal itu adalah sesuatu yang besar.
Adapun salah seorang daripada kedua orang itu tidak membersihkan
diri bila ia kencing, dan orang yang lain suka berjalan ke sana ke mari
untuk mengadu domba”.
(HR. Bukhari dan Muslim).

                                                                                                   
                      ada akhir tahun ’90 an pernah terjadi pembicaraan dengan topik ‘ada mawar merah di langit’.  Materi ini menarik karena menggunakan gaya bahasa lyris-prosa menyangkut keindahan disamping kekaguman pada kebesaran Illahi.
   Yang menjadi pokok pembahasan adalah ayat 37 - 38 surat Ar Rahman yang berbunyi:
“Faidzan syaqqatis samaa’u fakaanat wardatan kaddihan (i).
Maka apabila langit telah terbelah, lalu menjadi merah mawar seperti minyak (yang menyala).
Fabiayyi aalaa’i rabbikummaa tukadzdzibaan(i)”.
Maka ni’mat Tuhanmu yang manakah yang kamu berdua dustakan”.
                  Ayat ini nampak bernuansa metaforis dimana penafsirannya sedikit membutuhkan kehati-hatian (‘prudential interpretation’).
Metapora dapat diartikan sebagai suatu kata atau sekelompok kata (phrase), bagi masalah yang diekspresikan melalui kiasan atau asosiasi simbol.  Metaforis adalah transformasi pengertian atau pemahaman atas fakta tekstual (harafiah) kedalam pengertian kontekstual yang bersifat komprehensip. Ada persamaan atau kemiripan (‘similarities’) antara metaphor dengan ta’wil yang terdapat dalam ilmu bahasa Al Qur’an.
                   Dalam definisi bahasa Inggris, Metaphor is the imaginative use of a word or phrase to describe somebody or something as another object in order to show that they have the same qualities and to make the description more forceful. eg. She has a heart of stone. (Oxford).
(Metaphor adalah pemakian imajinatif kata atau ungkapan untuk menggambarkan seseorang atau sesuatu dengan obyek lain yang memiliki kesetaraan kualitas agar penggambaran menjadi lebih hidup. Contoh: ‘Dia berhati batu’ artinya ‘memiliki sifat keras’).
Definisi lain menyatakan, Metaphor is an expression which means or describe one thing or idea using words usually used of something else with very similar qualities without using the words ‘as’ or ‘like’.
eg. The rain came down in buckets. (Longman)
(Metaphor adalah suatu ekspresi yang memberi arti atau yang menggambarkan sebuah benda atau gagasan dengan menggunakan kata-kata yang biasanya digunakan untuk maksud lain yang memiliki kualitas setara tanpa menggunakan kata ‘seperti’ atau ‘bagaikan’. Contoh: ‘Hujan turun berember-ember’ artinya ‘sangat lebat’).
                  Dalam ayat-ayat Al Qur’an terdapat ayat yang bermakna jelas atau pasti (Muhkamat) dan yang bermakna samar - samar atau tidak pasti. (Mutasyabihat).
Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 7 berbunyi,
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu, diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas maksudnya), itulah pokok-pokok isi Al Kitab, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (mengandung beberapa pengertian). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat dari padanya untuk mengharapkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:”Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkn orang-orang yang berakal”.
                    Contoh ayat mutasyabihat, antara lain huruf-huruf yang ada di awal surat, seperti Alif – Lam – Mim, Alif – Lam – Ra, Ha – Mim dan sebagainya. Mungkin hanya semata-mata rangkaian huruf, atau ada makna tersembunyi dari rangkaian huruf-huruf tersebut dan hanya Allah swt. yang mengetahui makna artinya.
Ayat-ayat lain yang berkaitan dengan kekuasaan atau kekuatan Tuhan seperti ‘Tangan-tangan Tuhan’, ‘Allah bersemayam di atas ‘Arsy dan sebagainya.
                         Para ahli tafsir berpendapat bahwa ayat mutasyabihat dimaksudkan untuk mencapai kedalaman makna, memperkuat pesan yang disampaikan serta kebenaran arti sesungguhnya yang sukar dicapai bila menggunakan ayat muhkamat yang bersifat lugas.
Ayat-ayat mutasyabihat memiliki kekuatan motivasi bagi orang-orang yang bersedia bersunguh-sungguh dalam mendalami kandungan arti suatu ayat, dimana pendekatan intelegensia digabungkan dengan keluasan wawasan pengetahuan dan kearifan membaca kandungan hikmah di dalamnya. Karenanya ayat mutasyabihat hendaknya diterima dalam konteks keseluruhan (kafah – komprehensive kontekstual), dengan hati tawadhu’ tanpa kecenderungan yang berpotensi penyesatan, serta penuh harap atas keridha’annya untuk menambah ilmu yang kita miliki.
                  Ayat mutasyabihat Alif Lam Mim, menurut A M Al-Maraghi dimaksudkan untuk menarik perhatian pembaca dan pendengar (mukhathab) agar memperhatikan bahasan yang dikemukakan oleh Allah swt. mengenai kedudukan Al Qur’an, isyarat mengenai kemu’jizatan Al Qur’an, Al Qur’an sebagai hujjah bagi ahli kitab, dan bahasan lain dalam surat ini (Surat Al Baqarah).
                  Ulama Tabi’in terkenal As-Sya’bi mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah rahasia Allah belaka. Tetapi pada kesempatan lain dikatakannya bahwa Alif Lam Mim berarti Allahu (Allah) Lathifun (Maha Halus) Majidun (Maha Utama).
Menurut riwayat dari Abul-Laits as Samarqandi, bahwa menurut Umar bin Khathab dan Usman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud, semuanya berkata bahwa huruf potongan itu tertutup buat ditafsirkan, tidak usah huruf itu diartikan.






Studi-kasus: Kisah Malaikat Harut dan Marut.

     Para ahli tafsir Al Qur’an (mufasir) pada umumnya memiliki  latar belakang kelebihan dalam penguasaan ilmu Al Qur’an, bahasa Arab dan bahasa Al Qur’an. Mereka mempelajari sejarah dan budaya Timur Tengah dan bangsa-bangsa lain serta tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan Islam termasuk periode sebelum Rasulullah saw., baik yang ditulis oleh orang muslim maupun oleh para orientalis barat.
Disamping memiliki intelegensia yang tinggi, ketekunan mempelajari obyek studi, dengan daya imajinasi yang kuat para mufasir banyak melahirkan pemikiran-pemikiran baru sejalan perubahan yang terjadi. Sehingga tidak mengherankan bila diketemukan penafsiran yang berbeda antara mufasir yang satu dengan lainnya yang disebabkan perbedaan persepsi dan paradigma berpikir antar waktu.

     Meskipun demikian secara keseluruhan tidak akan terdapat perbedaan penafsiran yang mendasar karena kitab suci Al Qur’an sendiri akan membimbingnya melalui konsistensi substansi, ayat demi ayat serta huruf demi huruf serta ke-kafah-an aspirasi. Dapat dikatakan sebagai suatu mu’jizat , pada akhir-akhir ini para ahli diberbagai bidang seperti komputer, teknologi, kedokteran, matematika, ruang –angkasa bahkan ekonomi-manajemen berhasil ‘menemukan’ bukti-bukti baru kebenaran hakiki di dalam ayat-ayat Al Qur’an. Semakin bertambah kuat keyakinan, bahwasanya penemun baru apapun sudah tertulis baik secara tekstual ataupun kontekstual di dalam kandungan makna ayat-ayat Kitabullah Al Qur’an. Allahu akbar!
                 Dengan perkembangan kondisi seperti itu, permasalahan perbedaan penafsiran ayat-ayat, terutama ayat-ayat mutasyabihat menjadi berkurang relevansinya meskipun tetap penting untuk memperluas wawasan pemahaman kitab Al Qur’an.
Adanya ayat mustasyabihat dikarenakan terdapatnya kata atau ungkapan (‘word or phrase’) didalamnya yang bermakna ta’wil atau metaforis. Sebagai kasus-studi dapat diketengahkan ayat 102, surat Al Baqarah yang berbunyi sebagai berikut,
               “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), akan tetapi syaitan-syaitanlah yang kafir, mereka mengerjakan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil (Babilonia), yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sehingga keduanya mengatakan: “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak dapat memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak dapat memberi mudarat dan tidak memberi manfaat kepadanya. Demi sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tidaklah baginya mendapat keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka itu mengetahui”.
(Surat Al Baqarah ayat 102).
                     Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa muncul beberapa penafsiran dan pendapat tentang Harut dan Marut. Ahli tafsir as-Suyuti, Abu Su’ud al-Hanafi, Syekh Ismail Haqqi, dan Ibnu Kasir menegaskan bahwa Harut dan Marut adalah benar dua orang malaikat yang turun ke muka bumi. Mereka, kecuali Ibnu Kasir, mengemukakan beberapa kisah tentang Harut dan Marut. Versi-versi kisah tersebut menurut Ibnu Kasir adalah kisah Isra’iliyah, yakni kisah (kaum Yahudi / Israil) yang berkembang tetapi diragukan kebenarannya. Didalam tafsirYahudi diceriterakan tentang dua malaikat (Harut dan Marut) yang minta izin Tuhan untuk turun ke bumi, kemudian melakukan dosa, tergoda wanita bernama Zahrah, sehingga mendapat siksa di bumi (Babilonia).
                         Ahli tafsir dimasa modern, seperti al-Qasimi, al-Maraghi, Muhammad Abduh dan Hamka berpendapat bahwa ceritera-ceritera semacam itu tidak masuk akal.
Tafsir Al Maraghi menyatakan bahwa Harut dan Marut adalah manusia yang memiliki sifat-sifat mulia sehingga diserupakan dengan malaikat. Demikian pula dengan pendapat Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an menyatakan bahwa Harut dan Marut adalah manusia saleh yang dipuja di Babilonia.
                         Dalam membicarakan Harut dan Marut ayat-ayat yang berhubungan dengan Iman kepada malaikat perlu diketengahkan, antara lain surat An Nahl ayat 50 yang berbunyi:
“Malaikat itu takut kepada Tuhannya yang berkuasa diatas mereka dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan”.
Surat Al Anbiya ayat 26 – 28, berbunyi:
“Bahkan para malaikat itu adalah para hamba Allah yang dimuliakan.
Mereka tidak mendahului Allah dengan perkataan dan mereka mengerjakan sesuai dengan perintahNya.
Allah mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada dibelakang mereka. Mereka juga tidak dapat memberikan pertolongan, melainkan kepada orang yang disukai oleh Allah dan mereka itupun selalu berhati-hati karena takut kepadaNya”.
Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila Allah menentukan suatu keputusan di langit, maka semua malaikat itu sama memukulkan sayap-sayapnya karena tunduk pada firmanNya, yang seolah-olah sebagai suatu bunyi-bunyian yang nyaring di atas sebuah batu yang licin. Selanjutnya apabila telah lenyap ketakutan itu dari hati mereka, merekapun berkata:”Apakah yang diucapkan oleh Tuhanmu?”. Jawabnya:”Kebenaran dan Dia adalah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
                       Dari ayat-ayat Al Qur’an dan Hadith Rasulullah saw. tersebut, dapat ditarik makna bahwa malaikat itu takut kepada Allah, tunduk pada firmanNya, mengerjakan apa saja yang diperintahkanNya, hamba yang dimuliakan Allah swt., tidak dapat memberikan pertolongan kecuali kepada orang yang disukai Allah swt. dan malaikat selalu bersikap dan berbuat secara hati-hati.
Dengan hujjah ini, kisah Isra’iliyah tersebut menjadi semakin lemah, apalagi bila merujuk pada surat Al Baqarah ayat 102 diatas, dimana antara lain berbunyi: sehingga keduanya (Harut dan Marut) mengatakan: “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”.
                      Seorang ahli tafsir dari Mesir, Sabir Tu’amiah memberi pengertian isra’iliyyat sebagai seluruh manuskrip berbentuk buku yang ditinggalkan bani Israil (Yahudi) yang berasal dari tradisi satu generasi ke generasi berikutnya, yang diramu dari berbagai sumber.
Isra’iliyyat mempengaruhi para ahli tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadith Rasulullah saw. Ketika beliau masih hidup, hal-hal yang memerlukan penjelasan ditanyakan langsung kepada Rasulullah saw., tapi setelah wafat bila ada hal-hal yang berhubungan dengan kisah ummat masa lalu sebelum agama Islam lahir, hal tersebut ditanyakan kepada sahabat yang sebelumnya beragama Yahudi. Tapi kemudian kisah-kisah atau dongeng isra’illiyat yang ditampilkan untuk melengkapi penafsiran ayat tertentu, diperoleh langsung dari sumber Yahudi yang memiliki niat dan motief lain.
Untuk klarifikasi penafsiran, Ibnu Taimiyah membagi isra’iliyyat menjadi tiga kategori:
1.     isra’iliyyat yang didukung dalil syarak (Al Qur’an atau sunnah), dapat dijadikan penafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur’an dan sunnah.
2.     isra’iliyyat yang jelas-jelas bertentangan dan ditolak syarak
3.     isra’iliyyat yang tidak didukung syari’at dan tidak bertentangan dengan syari’at.
              Untuk menemukan pemahaman keseluruhan latar belakang permasalahan ini, dapat dijumpai dalam rangkaian kontekstual ayat-ayat surat Al Baqarah dimulai ayat 40 sampai dengan ayat 122, dimana antara lain berbunyi:
“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan /angan-angan (‘amaniyya’) belaka, dan mereka hanya menduga-duga”
(Surat Al Baqarah ayat 78).
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, segolongan dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah kebelakang punggungnya, seolah-olah mereka tidak mengetahui”.
(Surat Al Baqarah ayat 101).
            
Adakah Ungkapan Metaforis dalam Al Hadith.
                            Dalam tulisan yang berjudul “Persoalan Penafsiran Metaforis Atas Fakta-Fakta Tekstual”, Dr. Quraish Shihab antara lain mengatakan:
Dalam kamus linguistik ‘metafora’ (metaphor) berarti pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu obyek atau konsep, berdasarkan kias atau persamaan. Itu berarti suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara literal atau harafiah) dialihkan kepada makna lain.
Sebagai obyek atau ungkapan, disini diketengahkan: Sebuah dialog antara Rasulullah saw. dengan beberapa orang yang bertanya tentang pertemuan dengan Allah swt. pada hari Qiyamat, diceriterakan oleh Abu Hurairah ra., dalam Hadith Riwayat Bukhari dan Muslim, sebagai berikut:
Orang-orang bertanya: Ya Rasulullah, apakah kami akan dapat melihat Allah pada hari qiyamat?
Jawab Nabi saw.: Apakah kamu membantah akan dapat melihat bulan purnama jika tidak ada awan?
Jawab mereka: Tidak, ya Rasulullah.
Nabi saw. bertanya: Apakah kalian akan membantah tentang dapatnya melihat matahari pada waktu tidak ada awan?
Jawab mereka: Tidak, ya Rasulullah.
Maka sabda Nabi saw.: Demikianlah kalian akan dapat melihat Tuhan. Akan dihimpun semua manusia pada hari qiyamat, lalu diberitahu: Siapa yang dahulu menyembah pada sesuatu, hendaknya mengikuti yang disembah, maka ada yang ikut matahari, ada yang mengikut bulan, ada yang mengikut berhala, sehingga tinggal ummat ini dengan orang-orang munafiq, lalu Allah datang kepada mereka dan berkata: Akulah Tuhanmu, dijawab oleh mereka: Di sini tempat kami hingga datang Tuhan kami, maka jika datang kami telah mengenalNya, maka datanglah Allah dan berfirman: Aku Tuhanmu, maka disambut: Benar Engkau Tuhan kami, lalu dipanggil mereka, dan dibentangkan jembatan (shirath) di atas neraka jahanam, dan akulah (Nabi Muhammad saw.) yang pertama menyeberang shirath bersama ummatku, dan tidak ada yang berani berkata-kata pada waktu itu kecuali Rasul, sedang kata-kata Rasul pada waktu itu hanya: Allahuma salim, salim (Ya Allah selamatkanlah, selamatkanlah). Sedang di jahanam ada pengait (kait) seperti duri pohon sa’dan, apakah kalian pernah melihat duri pohon sa’dan?
Jawab mereka: Ya.
Sabda Nabi saw.: Maka kaitnya bagaikan duri sa’dan, hanya saja tidak ada yang mengetahui betapa besarnya kecuali Allah, ia dapat mengait orang-orang menurut amal perbuatan mereka, maka ada yang langsung tersungkur karena amalnya, dan ada yang jatuh tapi kemudian selamat, maka bila Allah akan berkenan memberi rahmat pada ahli neraka, maka Allah swt. menyuruh Malaikat supaya mengeluarkan dari neraka siapa yang pernah menyembah Allah, lalu dikeluarkan mereka sedang di dahi mereka ada tanda bekas sujud, dan Allah telah mengharamkan api untuk makan bekas sujud itu, lalu keluar mereka dari neraka, sedang semua jasad anak Adam dimakan api kecuali bekas sujud, dan mereka keluar itu sudah hangus, maka dituangkan pada mereka air hidup (ma’ul hayat) maka tumbuh kembali mereka bagaikan tumbuhnya biji di tengah banjir, kemudian setelah Allah menyelesaikan semua hamba, maka tinggallah seorang, diantara sorga dan neraka yaitu orang yang terakhir masuk sorga dari ahli neraka, wajahnya masih tetap menghadap neraka, lalu berdo’a: Ya Tuhan, palingkan wajahku dari neraka, sungguh aku terganggu oleh baunya, dan hangus karena nyalanya. Lalu ditanya: Apakah kemungkinan jika diberi permintaanmu itu lalu minta yang lainnya?  Jawabnya: Tidak demi kemulianMu. Lalu berjanji kepada Allah dengan sumpahnya. Maka Allah memalingkan wajahnya dari neraka, maka setelah menghadap sorga, melihat keindahannya, ia diam beberapa lama, kemudian ia berdo’a: Ya Tuhan, majukan aku di muka pintu sorga. Maka ditanya oleh Allah: Tidakkah anda telah berjanji tidak akan minta lainnya. Maka ia berkata: Ya Tuhan,  semoga aku tidak tergolong orang yang paling celaka dari mahlukMu. Lalu ditanya: Apakah tidak mungkin jika sudah diberi ini lalu minta lainnya? Jawabnya: Tidak,demi kemulianMu Tuhan aku tidak akan minta lain-lainnya, lalu ia bersumpah maka dimajukn oleh Allah ke muka pintu sorga.
                Setelah ia berada di muka pintu sorga dapat melihat semua kesenangan yang terdapat di dalamnya, maka ia tinggal diam beberapa lama kemudian ia berdo’a: Ya Tuhan, masukkanlah aku kedalam sorga. Allah berfirman: Celaka anda hai anak Adam, alangkah penipunya anda, tidakkah anda telah bersumpah berjanji tidak akn minta lain-lainnya selain yang anda minta itu. Maka ia berkata: Ya Tuhan jangan Tuhan jadikan aku hamba yang sangat sial, lalu Allah tertawa daripadanya, kemudian diizinkan ia masuk sorga, dan ditawari: Mintalah yang anda inginkan, lalu ia minta macam-macam hingga habis usul permintaannya, maka Allah berfirman sambil mengingatkan kepadanya: Dari sini ke sini, dan sesudah selesai semuanya keinginannya, maka Allah berfirman kepadanya: Untukmu semua ini dan lipat dua kali dari semua itu. (HR. Bukhari, Muslim).
(Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi – Al Lu’Lu’ Wal Marjan).
                 Selanjutnya pada alinea lain Dr. Quraish Shihab mengatakan:
Penelitian-penelitian yang dilakukan pakar-pakar bahasa, seringkali menimbulkan perbedaan-perbedaan diantara mereka, khususnya ulama-ulama Kufah versus ulama-ulama Bashrah. Ini berarti sebagian hasil-hasil yang mereka peroleh belum mendapat kesepakatan semua pihak, yang berakibat membawa sebagian ulama pada sikap hati-hati dalam menolak pemahaman metaforis bagi teks-teks keagamaan.
Paling tidak, jika tak memahaminya secara literal, mereka menyerahkan pengertian sekian banyak kosakata atau ungkapan al-Qur’an kepada Allah swt.
               Sebagai perbandingan ungkapan kisah metaforis perlu ditelaah dan direnungkan ‘Kisah Mi’raj Nabi Muhammad saw’ dibawah ini:
Abu sa’id Al-Khudriy berkata: Aku mendengar sendiri Rasulullah saw. menerangkan sebagai berikut,
“ .  .  .  .  . Seusai menunaikan ibadah di Al Baitul Maqdis, didatangkan sebuah tangga bagiku. Belum pernah aku melihat sesuatu yang lebih indah daripada tangga yang kulihat itu. Malaikat Jibril lalu menaikkan aku ke tangga itu dan aku terus memanjatnya hingga tiba di depan pintu langit yang disebut ‘Pintu Hafadzah’. Di depan pintu itu terdapat seorang malaikat bernama Isma’il. Ia mengepalai dua belas ribu malaikat dan setiap malaikat masing-masing mengepalai dua belas ribu malaikat lainnya.
             Ketika Jibril mengajakku masuk malaikat itu bertanya: “Hai Jibril siapakah dia?” Jibril menjawab: “Dia Muhammad”. Malaikat itu bertanya lagi: “Apakah dia telah diangkat sebagai Nabi dan Rasul?” Jibril menjawab: “Ya”. Malaikat itu kemudin mendo’akan kebajikan bagiku.
             Setelah itu aku melihat seseorang sedang duduk menghadapi roh-roh manusia. Apabila kepadanya dihadapkan roh yang baik, ia gembira dan berkata: “Roh baik keluar dari jasad yang baik”. Apabila kepadanya dihadapkan roh jahat wajahnya menjadi suram sambil berucap: Ah, roh jahat keluar dari jasad yang jahat”. Kutanyakan kepada Jibril, siapakah orang itu, dan dia menjawab: “Dia Adam, ayah anda”.
              Kemudian aku melihat beberapa orang yang mulutnya seperti moncong unta. Mereka memegang gumpalan-gumpalan api membara, lalu dimasukkan ke dalam mulut masing-masing, tak lama kemudian gumpalan api itu keluar dari dubur mereka. Ketika kutanyakn kepada Jibril, siapa mereka itu dia menjawab: “Mereka yang memakan harta anak yatim secara dzalim”.
              Setelah itu aku melihat lagi sejumlah orang yang mempunyai perut sedemikian rupa, belum perah aku melihat orang yang berperut seperti itu. Dalam keadaan seperti unta kehausan mereka digiring ke neraka. Mereka diinjak-injak oleh malaikat dan tidak dapat bergeser dari tempatnya masing-masing. Ketika kutanyakan kepada Jibril, siapa mereka itu, ia menjawab: “Mereka adalah pemakan riba”.
              Kemudian aku melihat beberapa orang lelaki. Didepan mereka terdapat dua macam daging, yang satu masih segar dan baik, dan yang lain sudah basi dan membusuk. Akan tetapi mereka lebih suka memakan daging yang busuk dan membiarkan yang segar. Ketika kutanyakan kepada Jibril . siapa mereka , dia menjawab: “Mereka menjauhi wanita yang dihalalkan (isterinya) dan menyukai wanita yang diharamkan (orang yang suka berbuat zinah)”
               Setelah itu aku melihat wanita yang bergelantungan pada payudaranya masing-masing. Ketika kutanyakan pada Jibril, ia menjawab: “Mereka itu isteri yang beroleh anak dari hubungan dengan lelaki lain (berzinah) dan menipu seolah anak itu hasil hubungan dengan suaminya sendiri”.
(Al Hamid Al Husaini ‘Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw.’)

              “Wahai sekalian orang-orang yang beriman,
                    janganlah ada suatu kaum di antara kamu yang
                      memandang rendah kaum yang lain,
                         jangan-jangan mereka yang dipandang rendah itu
           lebih baik daripada mereka (yang memandang rendah),
               dan jangan pula wanita memandang rendah wanita yang lain,
                     jangan-jangan mereka yang dipandang rendah itu lebih baik
                      daripada mereka (wanita yang memandang rendah),
            dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri
                 dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan julukan
                    (yang buruk), seburuk-buruk nama ialah (panggilan) yang
                        buruk sesudah beriman, dan barang siapa yang tidak
                           bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim”.
                                                (Surat Al Hujurat ayat 11).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar