Rabu, 24 November 2010

STUDI TENTANG SYARAT-SYARAT MUFASSIR AL-QURAN


Oleh
Muhammad Isa Anshory

I.             PENDAHULUAN
            Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi sumber hukum dan pandangan hidup (way of life) bagi mereka. Kitab ini dijunjung tinggi dan dihormati oleh setiap muslim di seluruh penjuru dunia selama berabad-abad. Allah Subhânahu wa Ta‘âla memberikan jaminan untuk memelihara Al-Quran dari segala penyimpangan hingga hari kiamat.[1] Oleh karena itu, Al-Quran yang ada di tangan kita pada hari ini tetap otentik dan sama dengan Al-Quran yang diturunkan kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam 15 abad yang lampau. Al-Quran yang tetap otentik ini memberikan pengaruh kekuatan luar biasa kepada umat Islam selama mereka mau berpegang teguh dengannya. Kenyataan ini sangat dipahami dan disadari oleh musuh-musuh Islam. William Gladstone, mantan Perdana Menteri Inggris, pada 1882 menyampaikan pidatonya di hadapan parlemen, "Percuma memerangi ummat Islam. Kita tidak akan mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam masih bertengger Al-Quran. Tugas kita adalah mencabut Al-Quran di hati mereka. Dan kita akan menang menguasai mereka,"[2]  
            Serangan terhadap Al-Quran pun beramai-ramai dilakukan oleh para orientalis Barat. Mereka berusaha untuk mengkritisi serta meragukan otentisitas dan kesakralan Al-Quran. Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, pada 1927 mengumumkan, “Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Quran sebagaimana yang telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab-kitab Kristen yang berbahasa Yunani.”[3]
            Kita tentu tidak akan heran jika orang yang melakukan penyerangan terhadap Al-Quran tersebut berasal dari kalangan Yahudi dan Kristen. Akan tetapi, menjadi sangat tragis dan ironis jika penyerangan itu juga dilakukan oleh kalangan yang menyatakan dirinya sebagai muslim; bahkan berkembang dari dan di perguruan tinggi negeri yang memakai embel-embel Islam. Dalam hasil penelitian tentang perkembangan paham-paham liberal keagamaan di sejumlah kota besar di Indonesia, Litbang Departemen Agama pada 14 November 2006 memaparkan laporannya mengenai paham “Islam Liberal” yang berkembang di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta. Pada bagian “Memaknai teks Al-Quran dan Al-Hadits secara liberal dengan mengutamakan semangat religio etik” dipaparkan bagaimana pandangan Islam Liberal terhadap Al-Quran,
“Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah Subhânahu wa Ta‘âla kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, melainkan merupakan produk budaya (muntâj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melanggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam di Nusantara ini hermeneutika makin digemari.”[4]   
 
            Ajakan untuk melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap Al-Quran semakin sering terdengar. Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap ayat-ayat yang dipandang tidak lagi relevan dengan konteks zaman ini atau dapat menimbulkan problem dengan penganut agama lain. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Endar Riyadi mengenai keharusan melakukan interpretasi terhadap teks-teks keagamaan yang selama ini dipandang dan melahirkan cara pandang yang membenci, intoleran dan tidak ramah terhadap orang-lain-agama sebagai salah satu diantara tiga agenda pokok dalam rangka menampilkan kembali wajah agama (Islam) yang ramah, toleran, dan inklusif.[5]
            Akan tetapi, apakah setiap orang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran? Lantas, siapakah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran dan apa saja yang harus dipenuhi olehnya? Tulisan ini mencoba untuk menjelaskannya.
  
II.          DEFINISI TAFSIR DAN MUFASSIR
            Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi teks lainnya; baik itu teks karya sastra maupun teks suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama tertentu. Ketika kita membahas tafsir Al-Quran, maka pengertiannya harus merujuk pada pengertian yang sesuai dengan sudut pandang (worldview) Islam. Dalam bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) berarti (الإيضاح والتبيين) “menjelaskan”. Lafal dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Quran,
وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا 
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS Al-Furqan: 33) Maksudnya, paling baik penjelasan dan perinciannya.
            Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti (الإبانة والكشف) “menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.[6]
            Adapun secara istilah, para ulama mengemukakan beragam definisi mengenai tafsir yang saling melengkapi antara satu definisi dengan definisi lainnya. Imam Az-Zarkasy dalam kitabnya, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qurân, mendefinisikan tafsir dengan:
علمٌ يُفهم به كتابُ الله تعالى المُنَزَّل على نبيّه محمد صلّى الله عليه وسلّم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحِكَمِه
“Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan hikmahnya.”[7]
            Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan:
علم يبحث عن مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية, فهو شامل لكل مايتوقف عليه فهم المعنى وبيان المراد. 
“Ilmu yang membahas maksud Allah ta‘ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.”[8]
            Definisi tafsir lainnya dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqany:
علم يبحث فيه عن أحوال القرآن الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية
“Ilmu yang membahas perihal Al-Quran Al-Karim dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta‘ala berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”
            Oleh Az-Zarqany, definisi di atas dijelaskan sebagai berikut:
            Maksud kata ilmu adalah pengetahuan-pengetahuan yang terkonsep. Abdul Hakim menjelaskan secara lebih panjang, “Sesungguhnya ilmu tafsir termasuk konsepsi (tashawwurât) karena tujuannya adalah memahami konsep makna lafal-lafal Al-Quran. Ilmu tafsir juga termasuk pengetahuan, akan tetapi kebanyakannya –bahkan semuanya— termasuk pengetahuan secara lafal. Sayid berpendapat bahwa tafsir termasuk  legalisasi  (tashdîqât) karena mencakup hukum atas lafal-lafal bahwa lafal-lafal tersebut bermanfaat bagi makna-makna terkait yang disebutkan dalam tafsir.”  
            Dengan perkataan kami, “membahas tentang perihal Al-Quran”, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal selain Al-Quran.  
            Dengan perkataan kami, “dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta‘ala”, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal Al-Quran dari segi selain segi penunjukan dalilnya. Misalnya ilmu qira’ah yang membahas keadaan Al-Quran dari segi pengaturan lafal dan cara membacanya. Demikian juga ilmu rasm ‘Utsmany yang membahas keadaan Al-Quran Al-Karim dari segi cara menuliskan lafal-lafalnya.
            Tidak termasuk juga dengan perkataan ini ilmu yang membahas keadaan Al-Quran dari segi ia makhluk atau bukan makhluk karena ini termasuk pembahasan dari ilmu kalam Demikian juga ilmu yang membahas keadaan Al-Quran dari segi diharamkan untuk membacanya bagi orang yang junub dan yang semisal karena ini termasuk pembahasan dari ilmu fikih. 
            Perkataan kami, “berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”, adalah untuk menjelaskan bahwa tidak dianggap cacat dalam ilmu tentang tafsir ketidaktahuan terhadap makna mutasyabihat dan ketidaktahuan terhadap maksud Allah dalam sebuah peristiwa atau perkara.[9]
            Demikianlah definisi tafsir yang dikemukakan oleh para ulama. Tafsir adalah aktivitasnya, sedangkan pelakunya disebut sebagai mufassir. Husain bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih panjang: 
المفسّر هو من له أهلية تامّة يعرف بها مراد الله تعالى بكلامه المتعبّد بتلاوته, قدر الطاقة, وراض نفسه علي مناهج المفسرين, مع معرفته جملا كثيرة من تفسير كتاب الله, ومارس التفسير عملياً بتعليم أو تأليف.
Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.” [10]
           

III.       SYARAT-SYARAT MUFASSIR
            Dari penjelasan mengenai definisi tafsir di atas, kita mengetahui bahwa menafsirkan Al-Quran merupakan amanah berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang memiliki otoritas untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu. Dalam bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani pasien jika tidak menguasai ilmu kedokteran dengan baik. Bahkan jika ia nekad membuka praktek dan ternyata pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh melakukan malpraktek sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Quran, syarat yang ketat mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran. Menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy, syarat mufassir secara umum terbagi menjadi dua: aspek pengetahuan dan aspek kepribadian.[11]

a.      Syarat Pertama: Aspek Pengetahuan
            Aspek pengetahuan adalah syarat yang berkaitan dengan seperangkat ilmu yang membantu  dan memiliki urgensitas untuk menyingkap suatu hakikat. Tanpa seperangkat ilmu tersebut, seseorang tidak akan memiliki kapabilitas untuk menafsirkan Al-Quran karena tidak terpenuhi faktor-faktor yang menjamin dirinya dapat menyingkap suatu hakikat yang harus dijelaskan. Para ulama memberikan istilah untuk aspek pengetahuan ini dengan syarat-syarat seorang alim.
            Syarat yang berkaitan dengan aspek pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua, yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir.[12] Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.
      Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,
لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”
2.      Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i’rab.
3.      Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.  
4.      Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
5.      Al-Ma‘âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6.      Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
7.      Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
      Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i‘jâz) Al-Quran.
8.      Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
9.      Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
10.  Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth. 
11.  Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12.  An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
13.  Fikih.
14.  Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
15.  Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
      Dalam sebuah hadits disebutkan,
من عمل بما علم ورثه الله علم ما لم يعلم
“Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui.”    
      Ibnu Abid Dunya mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbâth darinya merupakan lautan yang tidak bertepi.”
            Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki otoritas untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, berarti ia menafsirkan dengan ra’yu (akal) yang dilarang. Namun apabila menafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak menafsirkan dengan ra’yu (akal) yang dilarang.
            Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy[13], maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah: 
1.      Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam. 
2.      Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.    
3.      Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.

            Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufassir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan Al-Quran. Imam Jalaluddin As-Suyuthy mengatakan, “Siapa yang ingin menafsirkan Al-Quran yang mulia maka pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya, maka ia harus mencarinya dari As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelas bagi Al-Quran. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui penafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka juga diberi kekhususan berupa pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antarpendapat para sahabat, maka harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbedaan pendapat mereka mengenai makna huruf-huruf hijâ’ (alphabet), maka harus dikembalikan pada pendapat orang yang mengatakan, ‘Maknanya adalah qasam (sumpah)’.”[14]
            Manhaj (metode) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di kalangan para ulama dikenal dengan istilah tafsîr bil ma’tsûr. Manhaj ini yang pertama kali harus ditempuh oleh seorang mufassir sebelum ia menafsirkan dengan ra’yu sebatas yang diperbolehkan. Manhaj tafsîr bil ma’tsûr tersebut akan dijelaskan sekilas di bawah ini.

1.      Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran
            Ayat Al-Quran terkadang disebutkan secara global dan ditafsirkan secara rinci pada ayat lain. Demikian juga, ayat yang ringkas ditafsirkan secara lusa pada ayat lain. Contoh penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran adalah firman Allah ta‘ala dalam surat Al-Fatihah: 6-7.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
            Orang-orang yang dianugerahi nikmat kepada mereka ditafsirkan dengan firman Allah ta‘ala,
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa’: 69)
            Contoh lainnya adalah firman Allah,
فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah: 37)
            Beberapa kalimat dalam ayat ini ditafsirkan dalam ayat lainnya, yaitu firman Allah ta‘ala,
قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi’.” (QS Al-A‘raf: 23)
            Penafsiran ini diriwayatkan dari banyak mufassir dari kalangan tabi‘in.

2.      Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah
            Sunnah Nabawiyah berfungsi untuk mensyarah Al-Quran, menjelaskan yang mujmal (global), memuqayyadkan yang mutlak, mengkhususkan yang umum, menerangkan yang mubham (tidak dimengerti), menafsirkan yang musykil (rumit), merinci yang ringkas, menyingkap bagian yang samar, dan memperlihatkan maksudnya. Demikian juga, Sunnah Nabawiyah datang dengan hukum-hukum yang tidak terdapat dan tidak ditentukan dalam Kitabullah. Sunnah Nabawiyah tidak keluar dari kaidah, pokok, maksud, dan tujuan Kitabullah. Tidak mungkin mencampakkan Sunnah Nabawiyah dan tidak boleh pula meremehkannya dalam kondisi apa pun. Hal itu karena urgensitasnya dalam memahami agama Allah, menafsirkan Kitab-Nya, dan mengamalkannya.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil perkataan Imam Asy-Syafi‘i, “Setiap hukum yang diputuskan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berasal dari pemahamannya terhadap Al-Quran. Allah ta‘ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (QS An-Nisa’: 105)[15] 
            Contoh penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah di antaranya adalah tafsir al-maghdhûb ‘alaihim (mereka yang dimurkai) dengan Yahudi dan adh-dhâllîn (mereka yang sesat) dengan Nasrani dalam surat Al-Fatihah. Ahmad, At-Tirmidzy, dan Ibnu Hiban dalam Shahîhnya meriwayatkan dari ‘Ady bin Hatim, dia berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya mereka yang dimurkai adalah Yahudi dan mereka yang sesat adalah Nasrani.”
            Tafsir ini diperkuat dengan firman Allah ta‘ala,
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللهِ مَنْ لَعَنَهُ اللهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ 
“Katakanlah, ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?’ Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al-Maidah: 60)
            Yang dimaksud dengan mereka adalah Yahudi. Demikian juga firman Allah ta‘ala,
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
“Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus’.” (QS Al-Maidah: 77)
            Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjadikan Yahudi sebagai contoh tipikal terhadap setiap orang yang rusak irâdah (kemauan)nya. Mereka mengetahui kebenaran, namun menyimpang darinya. Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjadikan Nasrani sebagai contoh tipikal terhadap setiap orang yang tidak memiliki ilmu dan ingin meraih kebenaran. Mereka kebingungan dalam kesesatan dan tidak mendapatkan petunjuk menuju kebenaran.   
            Contoh lainnya adalah tafsir azh-zhulmu (kezaliman) dalam firman Allah ta‘ala,
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-An‘am: 82)
            Ahmad, Bukhari, Muslim, dan perawi lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, ia berkata, “Tatkala turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman’, para sahabat merasa keberatan. Mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?’ Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya artinya bukanlah yang kalian maksudkan. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba shalih (Lukman), ‘Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar’. Sesungguhnya kezaliman (yang dimaksud dalam ayat itu) adalah syirik.”[16]

3.      Mengambil pendapat para sahabat
            Abu Abdurrahman As-Salma, seorang tabi’in yang mulia, meriwayatkan dari para senior penghapal Al-Quran dari sahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa apabila turun kepada mereka sepuluh ayat, mereka tidak langsung melaluinya hingga mengetahui ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka mengatakan, “Kami mempelajari Al-Quran, ilmu, dan amal secara keseluruhan.”[17] 
            Diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas‘ud, bahwa ia berkata, “Barangsiapa di antara kalian ingin meneladani seseorang, maka hendaknya ia meneladani para sahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling bersih hatinya di kalangan umat ini, paling mendalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan menegakkan din-Nya. Kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah atsar mereka.”[18]  
            Para sahabat menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, lalu dengan As-Sunnah. Apabila tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, mereka melakukan ijtihad karena mereka adalah orang Arab tulen, menyaksikan turunnya Al-Quran, dan menghadiri majelis-majelis Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, sementara Al-Quran turun dengan bahasa Arab yang jelas. Kita mengambil tafsir sahabat dan lebih memprioritaskannya daripada tafsir generasi sesudahnya karena pada diri mereka terpenuhi sarana-sarana untuk melakukan ijtihad sebagai berikut:
            Pertama, mereka mengetahui maksud dan rahasia bahasa Arab. Hal ini membantu mereka untuk mengetahui ayat-ayat yang pemahamannya berkaitan dengan pemahaman bahasa Arab.  
            Kedua, mereka mengetahui adat dan karakter bangsa Arab. Hal ini membantu mereka untuk memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan perbaikan adat dan perilaku mereka, seperti firman Allah ta’ala, (إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ) “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran” (QS At-Taubah: 37) dan (وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا) “Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya” (QS Al-Baqarah: 189). Ayat seperti ini hanya dapat dipahami oleh orang yang mengetahui adat Arab pada masa jahiliyah. 
            Ketiga, mereka mengetahui keadaan yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada saat turunnya Al-Quran Al-Karim. Hal ini membantu mereka untuk mengetahui ayat-ayat yang membicarakan Yahudi dan Nasrani, perkara-perkara yang mereka (Yahudi dan Nasrani) lakukan, dan bagaimana mereka memusuhi kaum Muslimin.   
            Keempat, mereka mengetahui asbâb an-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena mereka menyaksikan turunnya ayat dan ikut terlibat dalam berbagai peristiwa yang disebutkan Al-Quran. Pengetahuan mengenai hal itu membantu mereka untuk memahami banyak ayat. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullâh ta‘âlâ mengatakan, ‘Mengetahui asbâb an-nuzûl dapat membantu untuk memahami suatu ayat karena pengetahuan terhadap sebab akan melahirkan pengetahuan terhadap musabab.’[19]  
            Kelima, mereka memiliki kekuatan dalam pemahaman dan pengetahuan. Allah telah menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman yang dengannya mereka dapat melihat banyak faktor secara jelas. Ini merupakan perkara yang sudah maklum dari sejarah perjalanan hidup para sahabat radhiyallâhu ‘anhum. Dengan faktor-faktor tersebut, para sahabat banyak memahami ayat Al-Quran Al-Karim yang tidak terdapat tafsirnya dalam Al-Quran dan As-Sunnah.[20]    
            Tafsir sahabat berdasarkan hukumnya terbagi menjadi dua:
1.      Apabila termasuk perkara yang di luar wilayah akal, misalnya perkara-perkara ghaib, asbâb an-nuzûl, dan sebagainya, maka hukumnya marfû‘. Wajib mengambilnya.
2.      Apabila selain itu, yaitu perkara yang kembali pada ijtihad para sahabat, maka hukumnya mauqûf selama sanadnya tidak bersandar kepada Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir sahabat yang mauqûf karena mereka menyaksikan korelasi dan kondisi yang dikhususkan kepada mereka dan tidak dikhususkan kepada selain mereka.[21]
            Imam Abu Ya‘la menyatakan wajibnya berpegang pada tafsir sahabat. Ia mengatakan, “Adapun tafsir sahabat, maka wajib kembali padanya. Inilah kesimpulan dari pendapat Ahmad rahimahullâh di beberapa tempat dalam Musnadnya bagian kitab thâ‘ah Ar-Rasûl (menaati Rasul) shallallâhu ‘alaihi wa sallam … Alasannya adalah karena mereka menyaksikan peristiwa turunnya Al-Quran dan menghadiri takwil sehingga mengetahui penafsirannya. Oleh karena itu, kami menganggap perkataan mereka sebagai hujjah.”[22]
            Contoh tafsir sahabat di antaranya adalah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah ta‘ala,
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang rapat, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS Al-Anbiya‘: 30)
            Ibnu Abbas mengatakan, “Langit dahulu rapat, yaitu tidak menurunkan hujan. Bumi dahulu rapat, yaitu tidak mengeluarkan tumbuhan. Lalu Allah memisahkan langit dengan hujan dan bumi dengan tumbuhan.” Seseorang kemudian datang kepada Ibnu Umar radhiyallâh ‘anhumâ dan memberitahukan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Umar berkata, “Aku katakan, mengapa aku harus heran terhadap keberanian Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al-Quran. Sekarang engkau telah mengetahui bahwa ia dianugerahi ilmu.” Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Al-Hilyah. As-Suyuthy juga menyebutnya dalam Al-Itqân.[23] 

4.      Mengambil pendapat para kibâr (senior) tabi’in, seperti Mujahid, Ibnu Jabr, Sa‘id Ibnu Jubair, ‘Ikrimah dan ‘Atha’ bin Abi Ribah, Al-Hasan Al-Bashry, Masruq bin Al-Ajda’, Sa‘id bin Musayyib, dan sebagainya yang mempelajari langsung semua tafsir dari para sahabat ridhwânullâh  ‘alaihim.
            Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai hukum mengambil tafsir yang dinukil dari tabi‘in. Pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama menyatakan bahwa tafsir tabi‘in termasuk tafsir bil ma’tsûr karena secara umum mereka mempelajarinya dari sahabat.
            Al-Hafizh Ibnu Rajab menyatakan bahwa ilmu yang paling utama dalam tafsir adalah atsar dari sahabat dan tabi‘in. Ia mengatakan, “Ilmu paling utama dalam tafsir Al-Quran, makna hadits, serta pembicaraan mengenai yang halal dan yang haram adalah atsar yang berasal dari sahabat, tabi‘in, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga berakhir pada zaman para imam Islam yang terkenal dan terteladani.”[24]

            Setelah menempuh manhaj tafsir bil ma’tsûr terlebih dahulu, barulah seorang mufassir diperbolehkan menggunakan ra’yunya dalam menafsirkan Al-Quran dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah tafsir. Sebab, menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali, tafsir bil ma’tsûr akan berhenti pada makna-makna, pemahaman, dan pesan-pesan yang disampaikan oleh riwayat-riwayat yang ada.[25] Sementara itu, tafsir bir ra’yi –yang sesuai dengan kaidah— itulah yang justru berpotensi untuk terus berkembang dan tidak berhenti. Karena tafsir yang demikian yang terus berinteraksi dengan masalah-masalah sastra, kalam, bahasa, hukum, dan problematika kehidupan lainnya.[26]   
            Oleh karena itu, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi kemudian menawarkan karakteristik tafsir ideal yang diharapkan sesuai dengan kaidah yang diakui para ulama dan pada saat yang sama dapat mengiringi ritme perkembangan zaman. Karakteristik-karakteristik tafsir ideal tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut:
Pertama, menggabungkan antara riwayah dan dirayah.
Kedua, menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran.
Ketiga, menafsirkan Al-Quran dengan sunnah yang shahih.
Keempat, memanfaatkan tafsir sahabat dan tabi‘in.
Kelima, mengambil kemutlakan bahasa Arab.
Keenam, memperhatikan konteks redaksional ayat.
Ketujuh, memperhatikan asbâb an-nuzul.
Kedelapan, meletakkan Al-Quran sebagai referensi utama.[27]

b.      Syarat Kedua: Aspek Kepribadian 
             Adapun syarat kedua yang harus terpenuhi pada diri seorang mufassir adalah syarat yang berkaitan dengan aspek kepribadian. Yang dimaksud dengan aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Para ulama salaf shalih mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang alim.
            Imam Abu Thalib Ath-Thabary mengatakan di bagian awal tafsirnya mengenai adab-adab seorang mufassir, “Ketahuilah bahwa di antara syarat mufassir yang pertama kali adalah benar akidahnya dan komitmen terhadap sunnah agama. Sebab, orang yang tertuduh dalam agamanya tidak dapat dipercaya dalam urusan duniawi, maka bagaimana dalam urusan agama? Kemudian ia tidak dipercaya dalam agama untuk memberitahukan dari seorang alim, maka bagaimana ia dipercaya untuk memberitahukan rahasia-rahasia Allah ta‘ala? Sebab seseorang tidak dipercaya apabila tertuduh sebagai atheis adalah ia akan mencari-cari kekacauan serta menipu manusia dengan kelicikan dan tipu dayanya seperti kebiasaan sekte Bathiniyah dan sekte Rafidhah ekstrim. Apabila seseorang tertuduh sebagai pengikut hawa nafsu, ia tetap tidak dapat dipercaya karena akan menafsirkan Al-Quran berdasarkan hawa nafsunya agar sesuai dengan bid‘ahnya seperti kebiasaan sekte Qadariyah. Salah seorang di antara mereka menyusun kitab dalam tafsir dengan maksud sebagai penjelasan paham mereka dan untuk menghalangi umat dari mengikuti salaf dan komitmen terhadap jalan petunjuk.”[28]      
            Sementara itu, Imam As-Suyuthy mengatakan, “Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid‘ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian lainnya. Saya katakan, inilah makna firman Allah ta‘ala,
سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (QS Al-A‘raf: 146)
            Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, ‘Para ulama mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai Al-Quran.’ Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.”[29]
            Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuthy di atas, Ahmad Bazawy Adh-Dhawy meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu: 
1.      Akidah yang lurus
2.      Terbebas dari hawa nafsu
3.      Niat yang baik
4.      Akhlak yang baik
5.      Tawadhu‘ dan lemah lembut
6.      Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta‘ala
7.      Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap menghindar dari perkara-perkara yang dilarang
8.      Tidak bersandar pada ahli bid‘ah dan kesesatan dalam menafsirkan
9.      Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.[30]
            Selain sembilan point di atas, Syaikh Manna‘ Al-Qaththan menambahkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
1.      Mengamalkan ilmunya dan bisa dijadikan teladan
2.      Jujur dan teliti dalam penukilan
3.      Berjiwa mulia
4.      Berani dalam menyampaikan kebenaran
5.      Berpenampilan simpatik
6.      Berbicara tenang dan mantap
7.      Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya
8.      Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran[31]
            Syaikh Thahir Mahmud Muhammad Ya‘kub juga mengemukakan syarat yang berkaitan dengan sifat-sifat mufassir. Syarat-syarat terpenting tersebut di antaranya adalah sebagai berikut  
-          Akidah yang shahih dan pemikiran yang bersih
-          Maksud yang benar dan niat yang ikhlas
-          Mentadabburi dan mengamalkan Al-Quran secara mendalam
-          Mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran Al-Karim dan tafsirnya, seperti ilmu qiraah, asbâb an-nuzûl, nâsikh dan mansûkh 
-          Bersandar pada naql (penukilan) yang benar
-          Mengetahui bahasa Arab dan uslubnya
-          Tidak segera menafsirkan berdasarkan bahasa sebelum menafsirkan berdasarkan atsar
-           Ketika terdapat beragam makna i‘rab, wajib memilih makna yang sesuai dengan atsar yang shahih sehingga i‘rab mengikuti atsar
-          Mengetahui kaidah-kaidah yang dikemukakan salafush shalih untuk memahami dan menafsirkan Al-Quran
-          Mengetahui kaidah-kaidah tarjîh menurut para mufassir
-          Tidak membicarakan secara panjang lebar perkara-perkara yang hanya diketahui oleh Allah, misalnya asma’ dan sifat-Nya, serta tidak terburu-buru dalam menetapkan sifat Allah ta‘ala dari Al-Quran Al-Karim.
-          Berlepas diri dari hawa nafsu dan ta‘ashub madzhabi
-          Tidak mengambil tafsir dari ahli bid’ah, seperti Mu‘tazilah, Khawarij, para pentakwil sifat Allah, dan sebagainya
-          Menghindari israiliyat
-          Menjauhi masalah-masalah kalamiah dan pemikiran-pemikiran filsafat yang jauh dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta berkontradiksi dengan keduanya
-          Tidak membebani diri dalam tafsir ilmiah
-          Jujur ketika menukil
-          Mendahulukan orang yang lebih utama darinya dalam mengambil dan menukil tafsir serta mengembalikan kepada orang yang ia mengambil darinya[32] 
            Termasuk adab yang harus diperhatikan oleh mufassir adalah ia wajib menghindari perkara-perkara berikut ketika menafsirkan Al-Quran:
1.      Terlalu berani menjelaskan maksud Allah ta‘ala dalam firman-Nya padahal tidak mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak terpenuhi ilmu-ilmu yang baru boleh menafsirkan jika menguasainya.
2.      Terlalu jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti perkara-perkara mutasyâbihât. Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani membicarakan sesuatu yang ghaib setelah Allah ta‘ala menjadikannya sebagai salah satu rahasia-Nya dan hujjah atas hamba-hamba-Nya.  
3.      Mengikuti hawa nafsu dan anggapan baik (istihsân).
4.      Tafsir untuk menetapkan madzhab yang rusak dengan menjadikan madzhab tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya. Akibatnya, seseorang akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat sesuai dengan akidahnya dan mengembalikannya pada madzhabnya dengan segala cara. 
5.      Tafsir dengan memastikan bahwa maksud Allah begini dan begini tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang secara syar’i berdasarkan firman Allah ta‘ala,
وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS Al-Baqarah: 169)[33]

IV.       PENUTUP
            Demikianlah penjelasan mengenai syarat-syarat mufassir Al-Quran yang sangat ketat. Dari uraian di atas, sampailah kita pada satu kesimpulan bahwa tafsir Al-Quran adalah interpretasi berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan Prof. Syed Naquib Al-Attas, di dalam tafsir tidak ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah, atau ruang bagi interpretasi yang berdasarkan pada penafsiran atau pemahaman yang subjektif atau yang berdasarkan hanya pada ide-ide relativisme historis, seakan-akan perubahan semantik telah terjadi dalam struktur-struktur konseptual kata-kata dan istilah-istilah yang membentuk kosa-kata kitab suci ini.[34] 
            Dengan begitu, batallah tudingan miring orang-orang yang menyatakan bahwa metode tafsir “klasik” Al-Quran tidak perlu digunakan lagi karena metode tafsir tradisional sangat “ahistoris” (mengabaikan konteks sejarah) dan “uncritical” (tidak kritis) sehingga kita perlu mencari alternatif ilmu tafsir pengganti yang cocok untuk saat ini, yaitu hermeneutika. Jika ingin dibandingkan antara metode tafsir yang telah dikembangkan oleh para ulama kita selama berabad-abad dengan hermeneutika yang diadopsi dari metode kritik Bible, maka jelaslah sangat tidak sebanding. Metode tafsir Al-Quran para mufassirun dari kalangan ulama kita jauh lebih unggul daripada hermeneutika. Para mufassirun kita telah menghasilkan berjilid-jilid kitab dalam bidang tafsir Al-Quran, sementara itu ada berapa jilid kitab yang telah dihasilkan oleh para pemuja buta hermeneutika tersebut?   
            Menafsirkan Al-Quran tanpa landasan ilmu merupakan dosa besar yang sangat berat ancamannya. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa yang berkata tentang Al-Quran tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di neraka.” (HR At-Tirmidzi [2874])
            Orang yang terpenuhi pada dirinya syarat-syarat mufassir diperbolehkan untuk menafsirkan Al-Quran sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku. Akan tetapi jika seseorang tidak dapat mencapai kriteria syarat-syarat mufassir, maka sikap yang mesti diambil adalah mengikuti penafsiran para ulama yang berkompeten dalam bidang ini; bukan malah berani membuat model tafsir baru alias bid‘ah sehingga menimbulkan kerancuan (syubhât) dalam memahami Islam. Wallâhu a‘lam.














DAFTAR PUSTAKA

Abu Syuhbah, Muhammad. 1408 H. Al-Isrâiliyât wa Al-Maudhû‘ât fî Kutub At-Tafsîr. KSA: Maktabah As-Sunnah.

Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245 Diakses pada 30 Agustus 2007.

Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. Tt. ‘Ilmu At-Tafsîr. Kairo: Dâr Al-Ma’ârif.

Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. 2000. At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Juz I. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1.

Al-Kattani, Abdul Hayyie. “Al-Quran dan Tafsir” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan Vol. I No. 1 Januari 2005 hal. 101.

Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qurân. Beirut: Mansyûrât Al-‘Ashr Al-Hadîts.

Al-Qaththan, Manna‘. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Arif, Syamsuddin. “Al-Quran, Orientalisme, dan Luxenberg” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan Vol. I No. 1 Januari 2005.

Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-Suyûthy. Beirut: Dâr An-Nafâis.

Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah.

As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.

Az-Zarqany, Muhammad Abdul Azhim. 1995 Manâhilul ‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qurân. Juz II. Beirut: Dâr Al-Kitâb Al-’Araby.

Husaini, Adian. “Virus Abu Zaid di Indonesia” dalam pengantar: Shalahuddin, Henri. 2007. Al-Quran Dihujat. Jakarta: Al-Qalam.

Riyadi, Endar. 2007. Melampaui Pluralisme; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama. Jakarta: RMBooks.

Wan Daud, Wan Mohd Nor. “Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah” dalam Majalah Islamia. No. 1 Th. I hal. 58.

Ya‘qub, Thahir Mahmud Muhammad. 1425 H. Asbâb Al-Khatha’ fî At-Tafsîr; Dirâsah Ta’shîliyyah. Juz I. Riyadh: Dâr Ibn Al-Jauziyyah.




[1] Allah berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al-Hijr: 9)
[3] Arif, Syamsuddin. “Al-Quran, Orientalisme, dan Luxenberg” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan Vol. I No. 1 Januari 2005 hal.10. Dinukil dari artikel yang ditulis oleh Mingana dalam Bulletin of the John Rylands Library (Manchester, 1927) XI: 77. 
[4] Husaini, Adian. “Virus Abu Zaid di Indonesia” dalam pengantar: Shalahuddin, Henri. 2007. Al-Quran Dihujat. Jakarta: Al-Qalam. Hal. Xiii.    
[5] Riyadi, Endar. 2007. Melampaui Pluralisme; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama. Jakarta: RMBooks. Hal. 14.
[6] Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. Tt. ‘Ilmu At-Tafsir. Kairo: Dâr Al-Ma’ârif. Hal. 5
[7] Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah. Hal. 8. Dinukil dari Al-Burhân juz I hal. 13.  
[8] Adz-Dzahabi. Op.cit. hal. 6
[9] Az-Zarqany, Muhammad Abdul Azhim. 1995 Manâhilul ‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qurân. Juz II. Beirut: Dâr Al-Kitâb Al-’Araby. Hal. 6
[10] . Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1. Hal. 29.
[11] Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245 Diakses pada 30 Agustus 2007.
[12] As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. Bab Ma‘rifah Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbihi E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.
[13] Silakan lihat: Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245
[14] . Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân. Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-Suyûthy. Beirut: Dâr An-Nafâis. Hal. 125
[15] Ya’qub, Thahir Mahmud Muhammad. 1425 H. Asbâb Al-Khatha’ fî At-Tafsîr; Dirâsah Ta’shîliyyah. Juz I. Riyadh: Dâr Ibn Al-Jauziyyah. Hal. 55.
[16] Silakan lihat: Abu Syuhbah, Muhammad. 1408 H. Al-Isrâiliyât wa Al-Maudhû‘ât fî Kutub At-Tafsîr. KSA: Maktabah As-Sunnah. Hal. 50-51
[17] Abu Syuhbah. Op. cit. hal. 52.
[18] Idem.
[19] . Ibnu Taimiyah. Muqaddimah fî Ushûl At-Tafsîr. Hal. 48.
[20] Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. 2000. At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Juz I. Kairo: Maktabah Wahbah. Hal. 45-46
[21] Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah. Hal. 29.
[22] Ya‘qub, Thahir Mahmud Muhammad. 1425 H. Asbâb Al-Khatha’ fî At-Tafsîr; Dirâsah Ta‘shîliyyah. Juz I. Riyadh: Dâr Ibn Al-Jauziyyah. Hal. 59-60.
[23] Silakan lihat: Abu Syuhbah, Muhammad. 1408 H. Al-Isrâiliyât wa Al-Maudhû‘ât fî Kutub At-Tafsîr. KSA: Maktabah As-Sunnah. Hal. 55.
[24] Ya‘qub, Thahir Mahmud Muhammad. 1425 H. Asbâb Al-Khatha’ fî At-Tafsîr; Dirâsah Ta’shîliyyah. Juz I. Riyadh: Dâr Ibn Al-Jauziyyah. Hal. 60.
[25] Problematika tafsir bil ma’tsûr menurut para ulama adalah banyaknya riwayat yang lemah dan palsu.
[26] Al-Kattani, Abdul Hayyie. “Al-Quran dan Tafsir” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan Vol. I No. 1 Januari 2005 hal. 101.
[27] Idem.
[28] Al-‘Ik, Khalid Abdurrahman. 1986. Ushûl At-Tafsîr wa Qawâ‘iduhu. Beirut: Dâr An-Nafâis. Hal. 189.
[29] As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.
[30] Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245 Diakses pada 30 Agustus 2007.
[31] Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qurân. Beirut: Mansyûrât Al-‘Ashr Al-Hadîts. Hal. 332. Silakan lihat juga terjemahannya: Al-Qaththan, Manna‘. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hal. 417-418.
[32] Ya‘qub, Thahir Mahmud Muhammad. 1425 H. Asbâb Al-Khatha’ fî At-Tafsîr; Dirâsah Ta’shîliyyah. Juz I. Riyadh: Dâr Ibn Al-Jauziyyah. Hal. 73-74.  
[33] Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. Tt. Ilmu At-Tafsir. Kairo: Dâr Al-Ma’ârif. Hal. 58  
[34] Wan Daud, Wan Mohd Nor. “Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah” dalam Majalah Islamia. No. 1 Th. I hal. 58. Dinukil dari Al-Attas. 1991. Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. An address to the Second World Conference on Muslim Education. Kuala Lumpur: ISTAC hal. 5. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar